29

BAB. XIV.
MENGHIMPUN ULAMA

Pada hakekatnya kaum tua adalah kelompok kaum muslimin Minang Kabau yang dalam akidah mendekatkan diri kepada paham ahlu sunnah wal jamaah ajaran Abu ‘al ‘Ashari dan Abu Muslim Al Maturidi, sedangkan dalam bidang ibadah mendekatkan diri pada mazhab Syae’i. Sekalipun tidak semuanya menganut dan mengamalkan ajaran tarekat, namun pada prisipnya mengakui kebenaran tarekat yang dipandang muktabarah, dan oleh karena itu mereka merasa terpanggil untuk mempertahankannya.

Baik tharekat maupun mazhab “Syafe’i dan Ahlu sunnah wal jamaah” menurut beberapa penulis sejarah telah menguasai pengajaran Islam di Indonesia pada umumnya dan khususnya Minangkabau, sejak masuknya Islam dikawasan ini, melalui beberapa kerajaan di Indonesia ini, paham dan sistem ini telah dijadikan pegangan utama dalam sistem pemerintahan, terutama yang berkaitan dengan aspek ibadah , munahakat dan kewarisan. Sistem itulah yang dirasa oleh Kaum Tua senagai sedang terancam oleh Kaum Muda, oleh sebab itu pihak yang disebut pertama merasa wajib mempertahankan dan membentengi pahaam yang dianggap sudah mapan ditengah masyarakat.
Kecuali itu, ada beberap alasan lain oleh Kaum Tua merasa terpanggil melakukan aksi mempertahankan seperti sebagai berikut:

1. Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam menurut Mazahb Imam Syafi’i dalam i’tikad mengaut pham Ahlusunnah waj jama’ah dan sudah berurat berakar diseluruh Ummat dan mayarakat Indonesia.

2. Mazhab Syafi’i adalah benar dan diakui oleh ummat Islam seduania.


3. Berpindah dari Mazhab Syafi’i yang telah benar kepada Mazhab lain akan mengakibatkan perpecahan dan kekacauan ditengah masyarakat terutama orang awam,
4. Tetap dalam Mazhab Syafi’i berarti memlihara dan keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Uchuwah Islamiyah.

Disaamping alasaan-alasan yang dikemukakan, sebanrnya alasan yang mendasar lainnya yang lebih mendorong Kaum Tua untuk mempergencar usaha mempertahankan dan mengembangan Mazhab Imam Syafi’i dan Ahlusunnah wal jama’ah di Minangkabau. Alasan lain menurut KH Rusli Abdul Wahid (alm) mantan petinggi dan tokoh senior Perti adalah untuk membendung arus modernisasi yang menganjurkan ummat Islam untuk berijtihad dan langsung mengambil hukum dari al-Qur’an dan Hadist tanpa mempergunakan pendapat-pendapat Ulama yang ahli. Gerakan ini menurut beliau sangat berbahaya, karena dinilai, tidak ada Ulama sekarang yang memenuhi syarat untuk berijtihad seperti disyaratkan dalam Ilmu Ushul Fiqih. Artinya kalau dibiarkan seperti ini , maka orang akan leluasa melakukan ijtihad, pada hal mereka bukanlah ahlinya. Akibatnya agama Islam akan jadi kacau balau.

Dengan dasar seperti uraian tersebut diatas, Syekh Sulaiman Arrasuli menghimpun Ulama ulama terkenal di Minangkabau yang menganut paham “Sunny Syafi’iyah” bertempat di Candung tanggal 5 Mei 1928 seperti:


1. Syekh Muhammad Djamil Jaho, Padang Panjang
2. Syekh Abdul Wahid al-Shalihy, Tabek Gadang Paya kumbuh,
3. Syekh Abbas Ladang Lawas,
4. Syekh Arifin al-Rasyidi Batuhampar Payakumbuh
5. Syekh Muhammad Salim Bayur Maninjau,
6. Syekh Khatib Ali Padang,
7. Syekh Muhammad Sa’id Bonjol, Pasaman,
8. Syekh Machudum Tanjuang Bingkuak Solok
9. Syekh Muhammad Yunus, Sasak, Pasaman,
10. Syekh Adam Palembayan Agam,
11. Syekh Hasan Basri Maninjau,
12. Syekh Abdul Madjid Koto Nan Gadang Paya-
kumbuh,
13. Syekh Muhammad Zein Simabur Batusangkar,
14. Syekh Djalaluddin Sicincin,
15. Syekh Tuanku Mudo Alwi Koto Nan Ampek Paya
kumbuh dan
16. Syekh Sulaiman Arrasuli sendiri

Upaya ini adalah untuk memperkuat peranan “Kaum Tua” sebagai pengembangan “tharikat” dan dipertajam dengan pengembangan paham (akidah) “Ahlusunnah wal Jama’ah dan dalam syariat menganut ajaran Mazhab Imam Syafi’i “pada hakekatnya semua ulama tersebut juga memiliki surau pengajian “halaqah” dimasing – masing mereka bermukim.

Hasil musyawarah dan mufakat diwujudkan menjadi sebuah pertemuan (rapat) lengkap kaum tua di Candung, Kabupaten Agam tanggal 5 Mei 1928. Disimpulkan pada pertemuan tersebut seluruh Madrasah madrasah, Halaqah yang tersebar di Minangkabau (Sumatera Barat ) resmi diubah sistem pembelajarannya secara klasikal (sistem halaqah diubah menjadi berkelas) dengan melengkapi sarana pendidikan seperti sekarang. Sehingga membuat ranah Minang menjadi semarak oleh tumbuh berbagai Madrasah

Sedangkan sebelumnya (1921 – 1928) membentuk organisasi Ulama Minangkabau yang sepaham menganut paham dalam i’ktikad Ahlusunnah wal Jama’ah dan syari’at Mazhab Imam Syafi’i r.a bernama :”Ittihadul Ulama Minangkabau“ beliau terpilih sebagai Ketuanya, secara tegas organisasi ini merupakan tempat berkumpulannya Ulama–ulama Sunniyah–Syafi’iyah mengkaji dan mengeluarkan fatwa Agama.

Pada pertemuan tanggal 5 Mei 1928 itu yang dihadiri oleh Ulama “Sunniyah-Syafi’iyah” se Minangkabau juga sekaligus dideklarasikan berdirinya organisasi pengelola Madrasah se Minangkabau sebagai wadah komunikasi madrasah-madrasah diberi nama :Persatuan Madrasash Tarbiyah Islamiyah disingkat PMTI. Dan seluruh Madrasah yang ada diberi nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang pada awalnya tercatat sebanyak 585 madrasah sebagai pengembang ajaran Sunniyah-Syafi’iyah diseluruh Indonesia diwadahi dan dibina oleh Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah.

Pada kesempatan yang bersamaan, diatas bangunan yang sederhana dan memadai sebelumnya bangunan tersebut yang prakarsai oleh penguasa Damang Cingkuak Dt. Batuah, Distrik IV Angkat Candung / Tilatang Kamang zaman pemerintahan Belanda dan masyarakat sekitarnya membangun ruang belajar 7 lokal selama 80 hari yang material dan tenaga kerjanya berasal dari masyarakat bergotong royong.
JUSTIC

Situs ini adalah ruang publikasi berita dan informasi dan karya seni santri-santri Pondok Pesantren MTI Canduang, Agam, Sumatera Barat, Indonesia yang dikelola oleh Jurnalis Santri Tarbiyah Islamiyah Canduang sejak Selasa 07 Agustus 2007

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama