28



BAB. XIII
PRA KELAHIRAN PERSATUAN TARBIYAH ISLAMIYAH

Proses Islamnisasi secara cepat di Minangkabau memang dimungkinkan olehwatak orang Minang itu sendiri yang cenderung cepat menyerap pembaruan, terutama sekali bila pembauran itu tidak terlihat bertentangan secara radikal dengan sistem kepercayaan yang mereka anut sebelumnya. Hal serupa tidak berbeda jauh dengan masyarakat lainnya yang secara kodrati cenderung tertarik kepada yang baru. Artinya manusia pada umumnya punya sifat ketertarikan kepada hal-hal yang sifatnya baru, termasuk yang berkaitan dengan ajaran Agama. Ajaran itu akan diadopsi.

Terutama disekitar tahun 1906 pembicaraan tentang tarekat muncul sebagai isu sentral dan menghangat di minangkabau . disebabkan karenaajaran ini boleh dikatakan merata diseantero Minangkabau dan banyak anggota masyarakattelah tenang denga mempraktekkannyaulama “ tua “ merasa perlu mempertahankan suasana itu . Mereka tidak ingin masyarakat resah, bila praktek praktek keagamaanmereka diganggu atau dikecam . Tetapi, dilain pihak , ulama ulama “muda“.

Seperti Djamil Djambek dan kawan kawannya tidak menginginkan dipertahankannya status quo semacam itu. Menurut mereka , praktek-praktek seprti itu membuat umat Islam beku , mandek , dan kehilangan dinamika . disamping itu , mereka melihat perbuatan tersebut sebagai bid’ah yang perlu diberantas, Jadi mirip dengan apa yang telah dilakukan oleh gerakan Padri sebelumnya, ulama ulama “muda “ ini pun melakukan gerakannya secara keras dan umumnya sangat frontal . Bedanya , kalau kaum Paderi menggunakan kekuatan pisik dan akhirnya melahirkan perang besar , maka kaum yang disebut pertama itu menggunakan jalur mas media ,tabligh dan bukan debat . Tambahan lagi , bila kalangan Paderi mengarahkan seranganya kepada kaum adatmaka Djambek dan teman temannya menujkanny kepada kaum ulama yang “toleran“ kepada tradisi.

Cara yang digunakan oleh kaum yang disebut kedua diatas
ternyata menimbulkan gejolak sosial keagamaan yang cukup hangat di Minangkabau. Sekelompok yang ingin mempertahankan tharekat dan status quo, dan merasa diserang habis-habisan seperti itu, membalas dengan cara yang tidak kalah garangnya. Debat umum tentang masalah tharekat tersebut diadakan oleh kedua belah pihak, Pada tahun 1903 M umpamanya, ulama didaerah Agam mengadakan rapat di Masjid Sianok, dimana kedua belah phak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing. Rapat dengan thema yang sama dan bahkan lebih besar dari sebelumnya juga diadakan di Bukit Surungan Padang Panjang tahun 1905.

Hadir dalam kesempatan itu, antara lain, Syekh Djamil Djambek, Haji Abdullah Ahmad, Haji Rasul, dan Haji Abdul Latif dari kalangan “Muda” , serta Syekh Bayang, Syekh Khatib Ali, Syekh Abbas dari kalangan “Tua”. Pada tahun yang sama diadakan pula suatu rapat lain mengenai masalah yang sama disurau Jemabatan Besi Padang Panjang. Disemua te,mpat itu kedua belah pihak tidak beranjak dari pendirian masing-masing.

Pada tahun 1906 M terjadi lagi sebuah pertemuan dengan thema yang sama di Padang. Dari kelompok pembela Tharekat hadir, Syekh Khatib Ali, Khatib Saidina, Syekh Bayang , Syekh Seberang Padang, dan Imam Masjid Ganting, dan Syekh Abbas, Sedangkan dari kelompok yang memantang Tharekat hadir, Haji Abdul Karim Amrullah, (Haji Rasul), Haji Abdullah Ahmad, dan Syekh Daud Rasyidi. Pertemuan yang semula dimaksudkan sebagai pertemuan ilmiah, berbicara dan membahas tharekat berdasarkan argumen agrumen intelektual, ternyata berobah menjadi lain.

Sikap kelompok kedua yang rada radikal dan sangat prontal, menimbulkan kemarahan kelompok pertama. Akhirnya yng mengemuka bukanlah pikiran yang rasional, melainkan nada-nada kemarahan yang penuh emosional. Pertemuan itulah kata Hamka, yang melahirkan apa yang disebut kemudian sebagai”kaum Tua” dan “Kaum Muda” di Minangkabau.

Pertentangan antara kaum tua dan kaum muda berikutnya, menurut Sanusi Latif, tidak lagi hanya terpaut dsalam masalah Tharekat, tetapi merewmbes kesoal-soal praktek keagamaan lain yang umum diamalkan oleh masyarakat Minangkabau, seperti masalah-masalah ushalli, berdiri membaca kisah Maulid, Taqlid, Ijtihad, bid’ah dan sebagainya.

Debat dan polemik anatar dua kelompok tersebut berlangsung dalam masa cukup panjang, melibatkan banyak tokoh, menggunakan banyak dalil dan bahkan menghasilkan kepustakaan yang lumayan. Terlepas dari berbagai aspek lain yang timbul dari akibat polemik tersebut masyarakat Minangkabau dapat memetik hikmahnya. Hikmah-hikmah tersebut anatara lain berkembangangnya kajia ilmiah keislaman, baik dikalangan muda maupun tua.

Haji Abdullah Ahmad dari kalangan Muda menerbitkan majalah “al-Manar” dan “al-Akhbar” di Padang pada tahun 1911 M dan tahun 1913. Sebelumnya, tahun 1909 membuka sekolah Adabiyah dikota yang sama. Majalah yang disebut pertama diatas tidak bisa betahan lama, hanya selama lima tahun, lantas gulung tikar, dan diikuti oleh beberapa majalah lainnya yang tersebar di Minangkabau seperti “al-Ittiqan” di Maninjau, “al-Bayan” di Parabek, “al-Basyir” di Sungayang, “al-Imam” di Padang Japang, dan “al-Munirulmanar” yang terbit sampai tahun 1924 di Padang Japang

Disamping media cetak, kaum “Muda” juga mendirikan lembaga-lembaga pendidikan terkemuka dan berpengaruh seperti adalah sekolah “Thawalib” di Padang Panjang, berbeda dari kebiasaan dengan kaum tradisional yang lebih menitik beratkan pelajaran “Fiqih” dengan fatwa berbagai mazhab. “Sekolah Thawalib” lebih mengutamakan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan usaha untuk dapat memahami Islam dari sumber aslinya “al-Qur’an dan Hadist”. Para siswa diarahkan untuk dapat memahami bagaimana suatu fatwa ditetapkan. Jadi tidak terpaku pada bagaimana suatu fatwa diamalkan. Pada kesempatan itu kaum muda terus pula mengembangkan sistem pengajaran melalui “Tabligh” baik dengan cara menetap di surau-surau, seperti suarau Syekh Muhammad Djamil Djambek di Bukittinggi dan Abdul Karim Amarullah di Surau Jembatan Besi Padang Panjang, maupun berkeliling dari surau ke surau lainya.

Dari semua sarana yang dimiliki, kaum muda Minangkabau meniupkan semangat gerakan pembaharuan dengan gencar setelah masuk sertanya Muhammadiyah dari Jawa tahun 1925, gerakan ini semakin menjadi-jadi.

Dilain pihak “Kaum Tua” yang sejak semula tidak setuju dengan cara yang dilakukan oleh kaum muda sehingga kaum tua semakin tersudut. Mereka lantas mengadakan serangan balasan dengan cara yang sama dengan kelompok kaum muda. Untuk menentang majalah al-Munirulmanar diterbitkanlah majalah “Suluh Melayu” yang pada pokonya isi tulisannya menentang dan mempertahankan paham kaum tua dan menangkis semua serangan yang dilakukan oleh kaum muda.

Dengan terbitnya majalah oleh kaum tua tersebut diatas terakhir ini, kata Buya Hamka “Minangkabau jadi terbelah dua”. Al-Munir dengan bintang-bintang utamanya seperti : Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amarullah, Mohammad Djamil Djambek, berlawanan dengan “Suluh Melayu” dengan tokoh-tokohnya seperti : Syekh Khatib Ali, Syekh Sa’at Mungka, Syekh Bayang. Masing-masing kelompok ini mempunyai pengikut yang cukup banyak dan boleh dikatakan sama-sama keras. Polemik itu berjalan cukup lama dan puncaknya berlangsung antara tahun 1914 sampai 1918 masehi.

Agaknya reaksi dari suatu gerakan akan muncul dalam irama yang sama dengan aksi yang ditampilan oleh gerakan itu sendiri. Artinya dulu kaum Paderi melakukan aksi radikal phisik dalam melancarkan gerakannya, maka lawannya kaum adat pun memberikan perlawanan dengan nada yang sama. Lahirlah adu jotos perang phisik, disamping itu kaum muda melancarkan serangan yang tidak kalah garangnya dari kaum Paderi diatas. Hanya mereka tidak menggunakan kekuatan phisik, melainkan menggunakan kemampuan intelektual. Oleh karena itu. Kaum tua diserang dan menangkisnya dengan cara yang sama, maka yang dilahirkan bukan ado jotos, akan tetapi perang pena dan perang mulut melalui mimbar, sekalipun tidak sedikit yang emosional, namun masih dapat diterima dalam batas-batas polemik intelektual.

Kecuali itu, “perang” antara kaum tua dan kaum muda lebih banyak mamfa’atnya bila dibanding dengan perang dilancarkan oleh kaum Paderi sebelumnya. Perang Paderi mentukan kalah menang antara kedua belah pihak yang bertarung (kaum adat – Belanda dan kaum Ulama) yang banyak membawa “trauma religius” , Kalau “perang kaum muda versus kaum tua” melahirkan prinsip era moder nisasi Islam di Minangkbau dengan segenap nilai plus-minusnya telah merangsang minat anak Minang untuk mengkaji agama dengan lebih intens.

Sekalipun itu lebih banyak berbentuk “apologi” dan amat polemis, namun dalam hal tertentu usaha ini amat besar maknanya. Hal ini antara lain terlihatlah dari usaha-usaha itu kaum tua menerbitkan majalah mereka berikutnya, seperti al-mizan yang terbit di Maninjau tahun 1921 sampai 1923, al-Radd wa al-mardud yang terbit di Bukittinggi tahun1926 dan Suarti (Suara Tarbiyah Islamiyah) yang terbit di Bukittinggi tahun 1937 sampai tahun 1945 dan bahkan sempat menyiarkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kecuali itu, kaum tua juga banyak menerbitkan buku-buku keagamaan, baik yang bersifat polemis ataupun bukan, buku-buku ini lebih kurang berjumlah 90 jilid banyaknya.

Sesungguhnya keinginan kaum muda diatas dapat dipahami sebagai keinginan positif. Mereka ingin agar masyarakat muslim Minang Kabau mau memahami dan mengamalkan islam secara murni dan bebas dari praktek-praktek yang menurut mereka menyimpang dari ajaran islam yang sebenarnya.

Namun maksud baik itu tidak didukung dengan cara yang baik pula dan dapat diterima oleh pihak kaum tua pihak yang disebut terakhir ini dinilai oleh H. Yunus Yahya, tokoh senior Perti, bahwa kaum muda berdakwah dengan cara yang tidak sesuai dengan etika dakwah Islamiyah. Mereka (pemuda) berbicara kasar sementara Islam menyuruh kita berlemah lembut. Mereka menganggap dirinya paling benar, sementara yang paling benar itu hanya ALLAH, Imam-imam mazhab (Malik, abu Hanifah, Syafe’i dan Hambali) pun tidak pernah mengklaim pendapatnya yang terbenar. Kaum muda bahkan pernah mencap “kafir” kaum tua, terutama dalam masalah do’a dan tawashul sementara hal itu dalam Islam sepenuhnya hak preogratif ALLAH.

Seperti telah disebutkan, reaksi dari suatu aksi biasanya muncul dalam bentuk yang sama dengan aksi itu sendiri. Aksi yang bernada kasar dan frontal seperti yang ditunjukkan kaum muda juga dibalas dengan nada yang sama oleh kaum tua.

Sikap pihak yang disebut terakhir inipun kita nilai sebagai hal yang alami, apalagi dilihat metode dakwahnya termasuk musyawarah yang diajarkan oleh islam, kita akan menemukan betapa agama ini sangat menganjurkan sikap menghargai antara satu dengan lainnya. Baik dalam ayat 25 surat an-Nahl maupun dalam ayat 159 surat Ali

Imran dinyatakan secara jelas bagaimana orang Islam itu berdakwah dan berdialog dalam mencari kebenaran ALLAH.

Pada prinsipnya ayat-ayat itu menuntun kita agar berdakwah secara bijak, berdialog dengan sikap penuh kelembutan dan menghindarkan diri dari keangkuhan dan kesombongan. Sikap sombong dan merasa diri paling benar, adalah sikap yang tidak islami. Sikap itu tidak akan dapat membantu kita memecahkan masalah, tetapi justru akan menimbulkan rasa antipati dan menambah rumitnya permasalahan.

Apa yang dikatakan haji Yunus Yahya diatas ada benarnya. Buktinya tidak seperti yang dikira banyak orang dan dipublikasikan. Gerakan kaum muda di Minangkabau bahkan sampai pertengahan tahun 1980an tidak begitu diterima oleh masyarakat Minangkabau yang umumnya tinggal dipedesaan. Gerakan itu pada umumnya hanyak nampak diperkotaan, sehingga bagi masyarakat luar yang kebanyakan melihat Minangkabau (Sumatera Barat) diperkotaan menilai daerah Minang dikuasai oleh gerakan kaum muda padahal dipedesaan hampir 90% dikuasai oleh kaum tua namun orang tidak banyak mengetahui hal itu.

Sebuah kesimpulan singkat yang dapat ditarik dari kajinan ini mengenai kaum tua versus kaum muda adalah secara ideal dapat dibenarkan. Mereka dapat disebut sebagai gerakan perintis Islam yang menginginkan agama ini bersih dari unsur-unsur yang tidak ada dasar konkritnya dalam agama Islam itu sendiri. Tetapi mereka kurang tepat dalam metoda dan cara yang mereka tampilkan membuat pihak lain menjadi antipati dan berbalik melawan mereka, jadi benar apa yang dikatakan para ahli, bahwa cara atau metoda itu lebih penting dan lebih menentukan dari isi suatu pesan. Cara itulah yang ditekankan oleh ALLAH dalam surat An-Nahl dan Ali Imran diatas “serulah mereka pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan penuh kebijakan, dan janganlah kamu tunjukknan sikap kasat hati dan keangkuhan, karena sikap seperti itu membuat mereka menghindar”.
JUSTIC

Situs ini adalah ruang publikasi berita dan informasi dan karya seni santri-santri Pondok Pesantren MTI Canduang, Agam, Sumatera Barat, Indonesia yang dikelola oleh Jurnalis Santri Tarbiyah Islamiyah Canduang sejak Selasa 07 Agustus 2007

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama