31

BAB. XVI
JADI PARTAI POLITIK

Mungkin berkat saling pengertian yang telah dibina dalam bentuk kerja sama dengan organisasi diluar Persatuan Tarbiyah Islamiyah seperti jalinan kerjasama dengan Alwashliyah suatu kelompok organisasi tradisionalis yang didirikan tanggal 30 September 1930 M di Sumatera Utara diwujudkan dengan sebuah “Piagam Takatuf” yang berisi antara al-Washliyah dengan Persatuan Trabiyah Islamiyah akan bergandengan tangan dalam mempertahan Islam dengan menganut paham “Sunnya Syafi’iyah”

Kemudian pada tahun 1939 juga dirintis dan diwujudkan dalam sebuah kerjasama dengan Majlis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) dalam sebuah piagam kerja sama yang isinya, bersama kaum Adat Minangkabau Persatuan Tarbiyah Islamiyah bergandengan tangan untuk mempertahankan dan menganut filosofi Miangkabau “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabul lah” mengembangkan paham “Ahlusunna wal jama’ah Mazhab Imam Syafi’i (Sunny Syafdi’iyah”). Kemudian atas jalinan kerja sama dengan kedua organisasi itu pandangan masyarakat semakin mengakar, terutama dalam mempertahankan paham keagamaan dan mendapat dukungan, sehingga tahun 1945 Persatuan Tarbiyah Islamiyah sudah melebarkan sayapnya sampai keluar seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi memiliki l.k. 585 buah lembaga pendidikan dengan berbagai jenjang.

Perlu dicatat, bahwa selain untuk keagamaan, dimana mereka sangat konservatif, Persatuan Tarbiyah Islamiyah adalah organisasi yang cukup rensponsif, bahkan cukup terbuka untuk segala bentuk pembaharuan yang dalam gerakannya seperti yang terlihat dalam pembahasan sebelumnya, ia tidak saja menerima pembaharuan yang ditampilkan oleh kaum muda dibidang institusi belajar mengajar, melainkan pula menyerap metoda dakwah melalui media cetak dan beroganisasi. Hanya saja

Hanya saja perlu diingat, bahwa semuanya itu mereka lakukan untuk mendukung dan selama usaha-usaha itu tidak menggeser sistem anutan dan paham keagamaan yang mereka pertahankan secara ketat “sunny assyafi’iyah”

Kecenderungan Persatuan Tarbiyah Islamiyah kearah yang tersebut diatas, juga terlihat ketika Wakil Presiden Muhammad Hatta datang berkunjung kepada Inyiak Syekh Sulaiman Arrasuli, sekaligus menyampaikan maklumat Wakil Presiden itu tanggal 5 Nopember 1945 tentang pemberian kesempatan bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mendirikan Partai Politik.Setelah mengikuti perkem bangan terakhir, menurut Bapak Wakil Presiden Muhammad Hatta pada kunjungan menemui buya Syekh Sulaiman Arrasuli, bahwa Persatuan Tarbiyah Islamiyah sudah memenuhi syarat untuk mendirikan partai politik.

Maklumat itu segera disambut oleh petinggi organi sasi Tarbiyah dengan mengadakan rapat pleno Pengurus Besar Persatuan Tarbiyah Islamiyah tanggal 22 Nopember 1945, dalam rapat itu diambil kesepakatan untuk meningkatkan perjuangan organisasi dengan menjadikan sebagai Partai Politik Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah disingkat P.I.PERTI, keputusan itu kembali dikukuhkan dalam Muktamar ke IV yang dilangsungkan di Bukittinggi tanggal 24-26 Desember 1945, pada waktu itu Muktamar juga mengadakan perubahan struktur kepemimpinan yaitu diangkatnya Buya H. Sirajuddin Abbas Ketua Dewan Partai Tertinggi (DPT) yang semula sebagi Ketua Pengurus Besar.

Buya KH Rusli Abdul Wahid sebagai Keua Penguru Besar (Dewan Pimpinan Pusat) menggantikan Buya Sirajud din Abbas, sedangkan Buya Syekh Sulaiman Arrasuli ditetapkan sebagai Ketua Dewan Majlis Penasehat Pusat (MPP).

Munculnya, Persatuan Tarbiyah Islamiayah (Perti) sebagai partai politik, agaknya para tokoh organisasi ini merasa berkepentigan untuk itu. Dengan menangkat diri sebagai partai politik, mereka merasa emakin kokoh mempertahankan paham keagamaan dari semua serangan kaum modernis seperti tersebut sebelumnya.

Secara moral, keinginan seperti itu, memang dapa diwujudkan. Dekatnya mereka dengan penguasa pemerin tahan, tidak sja membwa dampak rasa aman dalam menjalankan keyakina dan paham keagamaannya, tetapi juga mampu mengangkat pamor digelanggang perebutan pengaruh dikalangan ummat beragama. Namun tidak demikian halnya dalam gerak langkah mereka melaksakan cita-cita utama dilahirkan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Kiprah mereka dipanggung politik membuat terpaksa berhadapan dengan masalah lain yang langsung atau tidak langsung menjadikan mereka jauh dari “khittah” semula.

Dua tokoh kunci KH Sirajuddin Abbas dan KH Rusli Abdul Wahid diangkat pemeintah Presiden Sukarno sebagai pejabat Negara, Sirajuddin ditunjuk sebgai Menteri Keselamatan Negara RI dan Rusli Abdul Wahid sebagai Menteri Negara Urusan Umum dan Irian Barat.
Disamping itu, perubahan status dari organisasi Sosial Keagamaan menjadi partai politik, tentu saja membawa konsekwensi kepada Perti:

Pertama : Sebagai partai politik berskala Nasional itu tidak lagi terfokus di Sumatera. Perlu melebarkan sayap dan berwawasan Nasional, iapun perlu berkedudukan di ibukota negara sebagai kegiatan pusat kegiatan politik, dan dengan sendirinya harus meninggalkan tempat kelahirannya,


K e d u a : Perti harus mampu mempersiapkan tokoh-
Tokoh politik dan para organisatoris yang handal, sebab seperti terlihat pada Sirajuddin Abbas dan Rusli Abdul Wahid, status partai poitik yang disandangnya akan memeri peluang bagi tokoh-tokohnya
Ketiga : Perti harus mampu memelihara keutuhan dan kekompakan intern, karena terbuka nya berbagai jabatan itu, jelas akan menimbulkan persaingan yang mengarah kepada perpecahan dalam tubuh partai.

Keempat : Perti harus berhati-hati agar tidak terom bang ambing dalam arus edar kehidupan politik yang sering membingungkan, bahkan tidak jarang yng tamil garang dan akibatnya bisa merugikan organisasi.

“Perkembangan setelah jadi Partai”

Sampai tahun 1950 hampir seluruh lini yang tersebut diatas tidak tersentuh oleh Perti, situasi mempertahankan kemerdekaan ketika itu, memanggil partisipasi Perti untuk memikul tanggung jawab bersama dalam perjuangan phisik. Sama halnya dengan organisasi-organisasi lain, Pertipun membentuk barisan perjuanhgan dengan nama “Lasykar Muslimin (Lasymi)” untuk laki-laki dan “Lasykar Muslimat” untuk perempuan, kedua Lasykar ini dipimpin oleh Syfyan Siraj untuk Lasymi dan Norma Alamsuddin untuk Lasykar Muslimat

Selain membentuk Lasykar untuk menghadapi perjuangan Perti tersebut, Perti pernah mendirikan bengkel perakitan senjata tahun 1946-1947, hanya dibuat senjata-senjata ringan seperti senapan dan pistol.

Perkembangan selanjutnya dari seluruh sejarah kehi dupan Perti antara lain ditandai dengan diadakannya Muktamar Ke – VI pada tanggal 20 – 25 Mei 1950 di Bukittinggi, atas keputusan muktamar Dewan Tertinggi Partai yang semula berpusat di Bukittinggi dipindah ke Jakarta dimaksudkan untuk dapat lebih leluasa mengembangkan sayapnya dipanggung politik yang berskala Nasional, sejak itu pula Dewan Tertinggi Pusat berubah statusnya menjadi Dewan Pimpinan Daerah.

Era perpindahan Dewan Tertinggi Partai ke Jakarta menunjukkan pelebaran sayap Perti cukup pesat, kawasannya yang dulu terfokus di Sumatera, bahkan ada yang mengatakan bahwa Perti adalah Partainya orang Sumatera, kini terus merembes sampai ke Kalimatan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan daerah-daerah lain di Indonesia.

Dilihat dari segi kuantitas anggota, pelebaran sayap dan peran yang dimainkan dipentas pergerakan keagamaan dan kepolitikan seperti diatas, kita punya kesan, bahwa Perti mampu meraih kemajuan demi kemajuan yang membuat dirinya bertambah mekar. Namun kalau diamati dari segi prospek dan antisipasi masa depan, ternayata organisasi ini organissi ini belum menunjukkan kesiapan yang representatif. Artinya sampai dekade 1950an, Perti masih didominasi oleh figur-figur senior dan sama sekali belum terlihat kader atau tokoh-tokoh baru, baik sebagai pemegang pucuk pimpinan organisasi, apalagi ebagai sosok panutan diteras keulamaan.

Ada beberapa faktor penyebab lambatnya generasi baru muncul dalam kepemimpinan Perti sebagai berikut:

Pertama : Tertanamnya satu sikap pimpinan-pimpinan mereka, bahwa Perti adalah organisasi kaum Ulama yang nota benya sering diidentikkan dengan keseni oran usia . Sekalipun ada yang berkemampuan dibidang organisasi, tapi tidak tergolong Ulama, tidak akan dapat diterima untuk duduk dalam kepemimpinan Perti.

K e d u a : Sampai tahun 1950an Perti menolah mendirikan sekolah-sekolah umum dengan alasan bahw atugas utama mereka hanya membina calon-calon ulama, mereka juga menolak masuknya pelajaran umum, bahasa Asing selain bahasa Arab, sejaran dan Ilmu pengetahuan Sosial dan lain sebagainya, bahkan ada pula yang melarang anaknya masuk perguruan yang lebih tingggi yang didirikan oleh kaum muda.

Konsistensi Perti dalam mempertahan kepribadian jelas terlihat dalam usaha mereka melakukan pembenahan kedalam. Penyempurnaan alat keengkapan partai seperti Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan organisasi pemudanya, misalnya sudah dilaksanakan secara bertahap.

Kiprah Perti diarena politik membawanya kearah berbagai perwajahan. Wajah sosial religius yang semula dominasi pengabdian, kemudian mulai diwarnai oleh tren politik tren praktis. Wajah yang dulu terkesan kedaerahan, kini setelah hijrah ke Ibukota Negara muncul sebgai sosok berskala nasional. Pada waktu itu beberapa keberhasilan digelanggang politikpun dapat diraih melalui wakil-wakilnya duduk dalam lembaga legislatif, Komite Nasional Indonesia Pusat, dalam Parlemen Indonesia Serikat (RIS), dan dalam parlemen haasil Pemilu tahun 1955. Selain itu Perti ikut dalam gerakan Setia Kawan Rakyat Asia Afrika dalam konferensi-konferensi di Bandung, Kolombo, Kairo dan sebagainya.

Sebenarya banyak lagi gerakan Perti diknncah politik yang menarik dilihat, bahwa sikap dasar organisasi ini sejak kelahirannya, artinya ia lahir untuk mempertahan keagamaan yang “mapan” ditengah masyarakat, ia tantang segala bentuk pembaharuan, kalau pembaharuan itu sendiri akan menimbulkan gejolak yang akan merusak kemapanan nya. Untuk itu segala usaha yang dilakukan termasuk perjuangan didunia poltik harus dimaksudkan untuk menegah timbulnya gejolak tersebut dan karenanya pula Perti harus mendukung segala kebijaksanaan Peemerintah yang sah, dan harus mencegah segala macam usaha yang menentang pemerintah yang sah.

Sesuai dengan watak yang dimilik itu, Perti ingin menjadikan jati dirinya sebgai kaum sunny yang anti konfrontasi dengan sistem yang sedang berlaku. Mereka menginginkan lestarinya suatu nilain yang dirasa baik dan telah diamalkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama. Seebab dengan seperti itu, diharapkan terciptanya harmo nisasi yang membuat masyarakat merasa aman dan terbebas dari segala gejolak. Dengan cara itu pula mereka beramal menjalankan syari’at Agama dengan baik.

Disatu pihak sikap anti konfrontasi terhadap suatu kemapanan memang ada mamfaatnya, ia tidak akan menimbulkan keresahan , dan dengan sendirinya juga tidak melahirkan disharmonis. Tapi lain pihak ia bisa menciptakan suatu masyarakat statis yang akan menghilangkan dinamika komunitas manusia.

Diciptakannya manusia sebagai makhluk dinamis adalah kaena adalah bumi yang akan diurusnya selalu bergerak dengan dinamikanya yang senaniaa tumbuh dan berkembang sesuai dengan sunnah Allah. Sinkronisasi antara manusia dan alamnya itu adalah perlu dan amat perlu. Sebab kesenjangan watak antara keduanya akan embawa akibat fatal terutama sekali untuk manusia sebagai makhluk “utama” ciptaan Allah, itulah sebabnya Allah menuntut manusia agar selalu melakukan dinamiasi diri, baik melalui penalaran akal intelektual, maupun melalui “zauq” rasa yang ada dalam dadanya.
Dengan preposisi semacam ini, orang akan jadi paham apa yang akan terjadi dikalangan Perti setelah berkiprah didunia politik. Garapannya bercabang dua : 1. Pendidikan Keagamaan dan 2. Politik Kenegaraan adalah lahan yang menuntut dinamisasi dan penalaran intelektual dengan segala macam sistemnya, Artinya para tokoh intelektual Perti punya dua wadah fundamental garapan penalarannya. Hanya karena sudah mengambil kata sepakat untuk tidak membicarakan nilai-nilai keagamaan, ibadah dan akidah sudah menjadi amalah yang banyak.

*). Menurut Syekh Sulaiman Arrasuli, membicarakan apalagi mendong- kel-dongkel amalan yang sudah mapan, itu adalah pelang- garan, menurut hukum adat sama dengan “dago dagi” artinya menggunting beberapa yang sudah bundar dan menyumbing barang yang sudah rata. Berdasarkan perjan jian dalam piagam “Bukit etelah Perang Paderi antara lain menghasilkan kaedah “Adat basandi syara’. Syarak basandi Kitabullah” , tersirat, bahwa syara’ yang dimaksud disini adalah Agama Islam yang ada di Minangkabau ketika itu, yaitu menganut dalam i’tikad paham “Ahlusunnah wal jama’ah, syari’at menganut ajaran Imam Syafi’i”. Oleh karena itu mendongkel-dongkel masalah ini, berarti memancing lahirnya pergolakan baru yang dikhawatirkan akanmenimbulkan perpecahan kembali ditengah-tengah masyarakat dahulu, bahkan akan lebih celaka lagi, kalau perpecahan itu itu ditunggangi oleh pihak-pihak yang ingin “menangguk diair keruh”

Dengan demikian, mereka jadi segan untuk mengga rap lahan itu lalu sebagai tokoh-tokoh yang berpotensi intelektual dan butuh penyalurannya, disengaja atau tidak, potensi nalar itu tersalurkan kepotensi kedua atau dunia politik dengan segala macam tipu dayanya. Gejala yang semacam inilah akhirnya mewarnai kehidupan Perti, dan ini pulalah kemudian yang menimbulkan trauma organisasi internal mereka. Beberapa tokoh muda yang berambisi berebut pengaruh dalam partai. KH Sirajuddin Abbas dan KH Rusli Abdul Wahid pada pertengahan tahun 1950an sampai 1960an secara bergantian mendudki posisi terras pimpinan Partai, demikian juga pada tahun 1968 muncul dua tokoh lain yang masing-masing menyaaatakan diri sebagai pemegang pimpinan partai Perti, kedua orang itu adalah TS Marjohan dan Rusli Halil yang tidak diketahui asal usulnya.

Munculnya dua tokoh yang tersebut terakhir ini dan menyatakan diri sebagai pemegang kekuatan Perti, adalah suatu bukti betapa organisasi ini diombang ambingkan oleh badai politik. Zaman Demokrasi terpimpin dibawah Presiden Soekarno (1957-1965) adalah badai besar yang telah membawa trauma panjang ditubuh organisasi kaum tradisi ini, dua tokoh sentral ketika itu yaitu Sirajuddin Abbas dan Rusli Abdul Wahid saling berebut pengaruh, bahkan diantar mereka saling melemparkan “fitnah” , Sirajuddin disebut-sebut condong ke “kiri”.

Sementara Rusli Abdul Wahid dianggap tukang fitnah yang berambisi menggeser kedudukkan Sirajuddin. Gontok-gontok an tidak dapat dielakkan dan mencapai titik kulmi nasinya dan pemecatan Rusli Abdul Wahid sebagai Ketua DPP dalam Muktamar 13-20 Januari 1962 di Jakarta, jabatan ini diambil oleh Sirajuddin sendiri.

Pemecatan ini tidak membuat Rusli Abdul Wahid mundur dari geraakan politik, ia bahkan membikin DPP tandingan yang diketuainya sendiri, sementara itu oleh Presiden Soekarno ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) mewakili Partai Islam Perti.

Bersamaan dengan situasi politik akibat pemberon takan G 30 S/PKI tahun 1965, maka terjadilah pergeseran struktur organisasi ditubuh Perti, Sirajuddin Abbas yang sebelumnya diisukan condong atau dekat orang-orang kiri tidak mampu lagi mempertahankan kedudukannya sebagai Ketua DPP bersama Tengku Nyak Diwan, Sekretaris Umum Partai, ia diamankan oleh pihak militer karena termakan issu kekiri-kirian. Kesempatan dimamfaatkan oleh kubu yang beroposisi dengan Sirajuddin untuk menduduki kursi kepemimoina Partai yang lowong.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, H. Abdurrah man Wakil Ketua Partai memamfa’atkan kesempatan itu untuk menduduki jabatan tadi, segera setelah itu iapun mengumumkan pemecatan Sirajuddin Abbas, Tengku Nyak Diwan dan Sofyan Siraj (putra Sirajuddin) yang duduk sebagai Ketua Dewan Politik Deewan Pimpina Pusat Partai Islam Perti.

Dari kasus-kasus seperti yang tersebut diatas, sudahsuatu pelanggaran terhadap undang-undang yang mereka susun sesuai dengan Anggaran Dasar (AD) & Anggaran Rumah Tangga (ART) melalui Muktamar ke IX tahun 1960 di Jakarta dimana dalam fasal-fasal Anggaran Dasar dinyatakan bahwa:

1. Azas Partai ini ialah Agama Islam yang suci yang dalam I’tikad dan kepercayaan menganut paham Ahlusunnah wal jaa’ah (Sunny) dan dalam syari’at ibadah menurut mazhab Imam Syafi’i.

2. Azas Partai ini tidak bertentangan dengan azas dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tidak bermaksud merubah azas dan tujuan Negara.


3. Tujuan Partai Islam Perti adalah :

a. Meninggikan Agama Islam dalam arti yang seluas-luasnya.

b. Menjiwai masyakat Indonesia dalam semangat
ke Islam an.

c. Membangun masyarakat yang adil dan makmur yang sesuai dengan kepribadian Indonesia.

4. Partai ini menerima dan mempertahankan Undang-undang Dasar 1945, yang memuat dasar-dasar dan falsafah Negara, yaitu “Pancasila”

5. Dalam memperjuangkan tujuan, Partai ini akan menggunakan jalan-lan damai dan demokrasi.

Tidak salah lagi, bahwa hal yang disebut dalam Ang garan Dasar diatas adalah pernyataan Perti sekaligus membentuk kepribadian masing-masing warganya untuk mempertahankan keberadaan Partai Islam Perti menjadi partai yang solid dalam rangka mewujudkan jati diri partai seperti:

a. Paham keagamaan Sunny Syafi’iyah”
b. Paham kenegaraan, penyesuaian diri alam Indo nesia yang berlaku seperti Demokrasi dan Pancasila

Adapun program Partai yang tertuang dalam fasal 4 Anggaran Dasar antara lain untuk mencapai tujuan, Perti berusaha :

1. Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjadi jembatan emas untuk kemakmuran rohaniah dan jasmaniah rakyat.

2. Menentang kolonialisme dan imperealisme dalam segala bentuknya.

3. Memajukan pengajaran, pendidikan dan kecerda san rakyat.

4. Memperdalan rasa cinta terhadap Agama, bangsa dan tanah air.

5. Memperhebat penyiaran dan pertanana Agama Islam.


6. Memajukan perekonomian dan kemakmuran rakyat.

Untuk memperkuat jajaran dan menampung aspirasi masyarakat, organisasi partai Islam Perti memben- tuk wdah sebagai penunjang, hal ini dicantumkan dalam Anggaran Dasar pada fasal 7 yang selengkapnya berbunyi :

Partai ini mendirikan organisasi karya yang bernaung dibawahnya sebagai pendudkung dan ide-ide partai yaitu :

1. “Wanita Perti”, membantu partai, terutama dalam pemberdayaan Kewanitaan.

2. “Gerbumi” (Gerakan Buruh Muslimin Indonesia) membantu Partai, terutama soal-soal Perburuhan.

3. “Pemuda Islam Perti” membantu Partai, terutama dalam soal-soal kepemudaan.

4. “Gertami” (Gerakan Tani & Nelayan Muslimin Indo nesia) membantu Partai dibidang maslah Pertani- an dan Nelayan.

5. “IPSP” (Ikatan Pelajar Sekolah Perti) dan kemudian dirusah menjadi Ikatan Pelajar Tarbiyah Islamiyah atau disingkat dengan IPTI.

6. “Germahii” (Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia) yang membantu partai terutama masalah kemahasiswaan

Bila dibandingkan dengan prilaku dan semangat pengayon pimpinan diera orde baru setelah runtuh orde lama sungguh sangat jauh berbeda dibanding dengan sejak kelahiran organisasi ini, sampai zaman kemerdekaan sam pai sekarang, belum terfokus untuk berkiprah untuk kepentingan organisasi sesuai dengan program yang telah disusun melalui beberapa kali Muktamar, bahkan semua program itu terabaikan, karena diantara pimpinan senior dan pengikutnya lebih banyak memamfaatkan partai untuk kepentingan pribadi (“vested intres”), mereka gontok-gontok-an, sehingga mereka saling lempar fitnah dan pecat-memecat yang sangat merugikan partai yang berlam- bang “Masjid Menara” ini.


“Pimpin sidang paripurna Konstituante”

Tanggal 30 September 1956, Bandung yang terletak lereng gunung Tangkubanprahu diketinggian 910 M dari permukaan laut, udara sejuk dengan makanan khasnya “peuyeum dan kripik oncom” sanat ramai dikunjungi oleh pemimpin Islam, pejabat negara, tamu dari negara sahabat, petinggi partai dan peninjau memerlukan berkunjung untuk menghadiri acara pelantikan anggota konstituante hasil pemilu pertama 1955

Diantara anggota yang akan dilantik itu diantaranya Inyiak Syekh Sulaiman Arrasuli, ulama besar kita termasuk Inyiak Syekh Ibrahim Musa Parabek utusan Majlis Sura wal Fatwa Suamtera Tengah. Pada malam sewblum acara dimulai, Buya Sykh Sulaiman Arrasuli datang lebih awal dengan mobil Menteri Negara Urusan Umum & Irian Barat, KH Rusli Abdul Wahid menuju Gubernuran kediaman resmi Gubernur Jawa Barat, Sanusi Harjadinata dan disini akan diadakan acara pelantikan anggota Konstituante hasil Pemilu 1955.

Panitia penyelengggara menyambut semua tamu, ter masuk Inyiak Canduang bersam Menteri KH Rusli Abdul Wahid, karena Buya kita menggunakan costum jubbah hitam, menurut perkiraan salah eorang panitia beliaulah yang akan mengambil sumpah para anggota Konstituante yang akan dilantik sebentar lagi seraya petugas itu bertanya kepada Inyiak Canduang : “Mana al-Qur’annya pak Kiyai” tukasnya serius. “al-Qur’an untuk apa” jawab beliau lembut. “Ma’af pak Kiyai, saya kira pak Kiyai yang ditugaskan untuk mengambil sumpah dalam acara ini” jawabnya menunduk. “Bukan saya, tapi saya juga yang akan disumpah” tambah Inyiak seraya memperbaiki jubbahnya yang sudah menjilat lantai, kemudian petugas itu pergi meninggalkan Inyiak kita.

Sebelum pidato Presiden Soekarno tapil keats podi um KH. Suja’i dari Jawa Barat, beliau dipapah oleh pembantunya, karena sudah sepuh dalam usia 106 tahun selaku anggota tertua dari anggota konstituante itu.

Setelah KH Suja’i menyampaikan kata pembukaan, acara dilanjut dengan amanat Presiden Soekarno sekaligus sebagai kata pelantikan. Selesai amanat dan kata pelantikan pengeras suara oleh Presiden langsung diserahkan kepada Inyiak Syekh Sulaiman Arrasuli untuk memimpin sidang selanjutnya, Seraya Presiden berucap, “Karena Inyik salah seorang anggota tertua kedua diantara anggota yang hadir, maka Inyik lah yang memimpin sidang” Kata Bung Karno.


Inyiak Canduang merasa heran, kenapa pengeras suara diserahkan kepadanya untuk memimpin sidang Majlis yang besar itu, sedangkan sebelumnya tidak ada dalam jadwal acara, karena kemauan presiden, dan dukungan dari peserta separtai dan dukungan peserta dari Partai-partai Islam, Buya Syekh Sulaiman Arrasuli tidak menolak, hingga suasan itu dibudayakan sampai sekarang setiap pembukaan dan pemilihan pimpinan DPR/MPR.

Sebelum sidang Konstituante dihari ketiga, Senin tangg 12 Nopember 1956 dimulai, beberapa anggota mendatngi kamar tempat beliau menginap di Hotel Savoy Homan satu-satunya hotel yang termewah saat itu, memang dihotel ini para anggota Kontituante menginap selama acara sidang berlangsung, karena dekat dan berhadap-hadapan dengan gedung dan ruang sidang Konstituante. Dalam lobby-lobby dan sebagai manuver oleh tamu-tamu beliau terhadap perjalanan sidang lanjutan,
Syekh Sulaiman Arrasuli yang populer dipanggil Inyiak Canduang mengingin sidang-sidang selanjutnya mengucap kan “Assalamu’alaikum ww” kemudia dilanjutkan dengan khotbah iftitah, agar nuansa-nuansa Islami lebih melekat dalam suasana itu.

Sebanyak delapan kali sidang beliau pimpin, baik membahas tata tertib sidang, maupun membahas tata tertib sidang-sidang komisi. Dari beberapa anggota konstituante yang tidak yang minim pngetahuan Agama Islam nya seperti dari fraksi Partai Komunis Indonesia (PKI), timbul desas desus diantara mereka dan “nyeletuk” pada sidang selanjutnya serta berkomentar :

“janganlah terlalu banyak bahasa Arabnya Kiyai, kami nggak ngerti itu, kalau perlu tolong diartikan” salah seorang peserta sidang berbicara dalam kesempatan interupsinya.

Memang diakui bahwa dalam berbicara Syekh Sulaiman Arrasuli sering membawa ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist sebagai nuansa Islami dan beliau menyadari bahwa Indonesia berpenduduk 95 persen atau menganut Agama Islam mayoritas dan menurut beliau wajar demikian. Salah seorang juga berbicara dalam kesempatan interupsi :

“Itulah adalah do’a-do’a kepada Allah, tidak perlu diartikan, cukup Allah yang mengetahui maksudnya, adapun membaca itu adalah tabarruk” jawabnya lantang.

Rupanya jawaban itu tidak memuaskan bagi peserta sidang yang exstrim, mereka menyusun aksi yang akan dilancarkan pada sidang selanjut, pada saat itu siasat itu tercium oleh utusan yang berasal kelahiran dari Sumatera Tengah yang diwakili oleh Mr. Muhammad Yamin berucap :

“Agar Syekh Sulaiman Arrasuli tetap memmimpin sidang”
Akhirnya sidang dilanjut, mengingat situasi tidak menguntung bagi beliau, karena rongrongan dari golongan kiri, dengan tidak sempat membahas masalah yang sudah diagenda kan, sidang hanya berlangsung singkat, beliau langung menutup sidang.

Akibat sidang berlangsung tanpa membahas agenda sidang, maka besoknya dalam surat kabar “Harian Rakyat”surat kabarnya orang PKI menulis dalam headline “Sidang mahal harganya”, Sidang berlangsung sebentar, tapi uang sidang tetap dibayar sebanyak Rp, 75,- per anggota, Ini berarti pemborosan, demikian tulis “Harian Rakyat” semacam memulai exstrim kiri berpolemik.

Pada sidang berikutnya Inyiak Canduang kembali kembali memimpin sidang hari ke 7, setelah sidang dimulai, tampil salah seorang peserta sidang sambil berucap: “Interupsi Ketua, Kenaapa kemarin kita hanya melaksana kan sidang hanya sekejap, itu berarti menghambur biaya, sebab kita yang hadir ini dibayar oleh Negara”

Jawab Inyiak Canduang selaku Ketua Sidang :

“Acara kita sekarang bukan uang, sidang itu sudah ada tatatertibnya, saya memimpin sidang sudah sesuia dengan tata tertib yang sudah disusun oleh pemerintah, dan terserah kepada kita, sekarang acara sekitar tata tertib” kata Syekh Sulaian Arrasuli menambahkan.

Mendeengan jawaban Inyiak Canduang, orang yang memberi interupsi tadi langsung terdiam, sehubungan si-dang-sidang sampai larut malam dan tidak mengizikan untuk kesehatan beliau tak mengizinkan, maka pimpinan beliau serahkan kepada H. Ridwan Dari N.U peserta tertua ke-3 dan demikian jubatan sebagai anggota konstituante tidak terlalu lama beliau jabat, disamping kesibukan-kesibukan di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung, maka jabatan keanggotaan beliau dialihkan kepada H. Kuasini Sabil dari Partai Islam Perti.


Fraksi-fraksi Partai Politik yang memperoleh kursi di Parlemen
dan konstituante hasil Pemilu 1955

1. Partai Masyumi 60 kursi
2. Partai Nasional Indonesia (PNI) 58 kursi
3. Partai Nahdhatul Ulama (NU) 47 kursi
4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 32 kursi
5. Partai Nasional progresif (gabungan partai/orga-
nisasi Baperki, Permai, Acoma, Murba, PRN.
Gerindo, PIR Wongsonegoro dan anggota pero-
Rangan R. Soedjono Prawirosoedardjo 11 kursi
6.Partai Pendukung Proklamasi mewakili organi-
Sasi IPKI, Partai Buruh, PRI, dan PRD 11 kursi
7. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 8 kursi
8. Partai Keristen Indonesia (PARKINDO) 9 kursi
9. Partai Khatolik bergabung sama Persatuan Daya 8 kursi
10. Partai Pembangunan anggotanya dicalonkan
PKI 7 kursi
11. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 5 kursi
12. Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah
(P.I PERTI) 4 kursi
13 Partai Gerakan Pembela Pancasila 2 kursi
14. Persatuan Pegawai Pilisi RI (P3RI)
15. UtusAN Perorangan AKUI (Independent) 1 kursi
16. Partai Pembela Tharikat Indonesia (PPTI) 1 kursi
17. Partai Indonesia Raya Hazairin 1 kursi
18. Partai Persatuan yang mewakili Irian Barat 3 kursi
19. Independent 2 kursi






“Dikunjungi Petinggi Negara”

Syekh Sulaiman Arrasuli yang populer dipanggil Inyiak Candung, seorang Ulama Pejuang dan pejuang pendidikan kiprah beliau dalam menegakkan dan mengem bangkan paham Ahlusunnah wal Jama’ah, syari’at dengan Mazhab Imam Syafi’i, demikian juga perjuangan beliau melalui zaman penjajahan Belanda, Penjajahan Jepang, era Proklamasi, aggresi ke – II Belanda, zaman Kemerdekaan, Orde lama dan sampai kepada Orde Baru, sudah malang melintang sebagai sosok Ulama, Pendidik, Ahli Adat, ahli siasat dan diplomasi sangat banyak memberikan kontribusi untuk kesejahteraan ummat baik moril, maupun spritual yang patut kita banggakan.

Sebelum Merdeka, Bung Karno yang dikenal ketika itu Bapak Pergerakan Rakyat, saat dipenjara di Bengkulu oleh Belanda, sekembalinya dari penjara itu Bung Karno berangkat dulu ke Bukittinggi dan terus ke Candung menemui buya Syekh Sulaiman Arrasuli, memang Bung Karno sudah mengenal nama beliau sejak lama, bahwa Inyiak Canduang adalah salah seorang pemimpin spritual.

Saat kedatangan, Bung Karno didampingi oleh Buya H. Sirajuddin Abbas anak didik / kader pemimpin binaan Inyiak Canduang, pada waktu organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah pada waktu itu organisasi ini baru sebatas mengurus Madrasah-madrasah yang bernaung dibawah Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan belum merupakan partai politik (1942).

Sekitar dua minggu, awal pendudukan Jepang di Bukittinggi, pada suatu malam rumah buya H. Sirajuddin Abbas diketok orang. Ternyata yang mengetok adalah Bung Karno dan rombongan baru sehari dibebaskan oleh oleh tentara Jepang dari Penjara di Bengkulu. Rumah yang ter4letak di Oostersingel 25 Bukittinggi disitulah Bung Karno menginap (dirumah R Muchdie) dari Burgelijke Openbare Werken (BOW) instansi PU sekarang. Keesokan harinya Bung Karno dan rombongan kepada Buya H. Sirajuddin Abbas minta diantar kerumah Buya kita Syekh Sulaiman Arrasuli di Candung, Kabupaten Agam

Dikediman Inyiak Canduang, Bung Karno “bacarito parasaian” selama disekap oleh Belanda di Bengkulu, kemudian dilanjutkan dengan pembicaraan perjuangan kemerdekaan dan cara merebutnya dari penjajahan Jepang. Setelah panjang lebar bertukar pikiran. Bahkan Bung Karno memohon kepada Inyiak Canduang agar beliau bersedia sebagai penasehat spiritualnya.

Pada kesempatan pertemuan dirumah Buya Syekh Sulaiman Arrasuli, Sukarno berkata , bahwa Jepang itu adalah “fasis”. Penjajah itu tidask suka dengan perkumpulan apalagi dengan organisasi-organisas rakyat untuk kemerdekaan. Bung Karno merasa sedih dan kasihan dengan organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah seandainya organisasi Islam ini yang sudah berdiri lama itu dibubarkan oleh Jepang.

“Tapi”, kata Bung Karno. Kita harus dan mesti meneruskan perjuangan kemerdekaan, walaupun kita dalam penjajahan Jepang yang fasis. Dengan uraian Bung Karno, Inyiak Canduang bertanya kepada Soekarno “Apa yang hur kita lakukan. Menurut Bung Karno, kita harus pandai main sandiwara dengan tekad selalu menunjukkan sikap persiapan kemerdekaan.

Walaupun kita dalam penjajahan Jepang, tapi yakinlah kita tdak lama lagi akan mencapai kemerdekaan dengan dasar landasan aqidah perjuangan difatwakan oleh buya kita Syekh Sulaiman Arrasuli tukas Bung Karno menambahkan.

Hanya pada saat itu beliau Inyiak Kito berpesan kepada Bung Karno: “Jika Bung nanti jadi pemimpin, apabila tourne (kunjungan kerja) istri jangan lupa dibawa dan beri tahu anak buah Bung” wujud pesan beliau sudah barang tentu mengingatkan jangan berbuat maksiat, itu adalah salah satu kredibilitas bagi pemimpin.

Saat Bung Karno ingin pamit meninggalakan kediaman Inyiak Candung Bung Karno kembali berucap : “Setelah merdeka nanti jalan yang didepan rumah Inyiak akan diaspal licin” tukas Bung Karno serius. “Ah.... nan kabanalah goh” Jawab Inyiak berseloroh, seraya Bung Karno pamit bersalaman.

Pada suatu kunjungan ke Sumatera Tengah (1947) setelah merdeka Bung Karno menyempat diri singgah ke Candung menemui Buya Syekh Sulaiman Arrasuli dalam silaturrahmi yang cukup panjang lebar sekaligus bertukar pikiran tentang kelanjutan untuk mengisi kemerdekaan, Inyiak Canduang menagih janji Bung Karno dalambentuk sindirian. “Sekarang kita memang sudah merdeka, air juga turut merdeka, hingga sampai kejalan” memang pada saat itu air memang sampai kebadan jalan, karena saluran air banyak yang tertutup akibat semalaman hujan sangat lebat.

Turut hadir dalam rombongan Presiden Soekarno itu, Mr. Muhammad Yamin, Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, Prof. Dr. Bahder Johan, Menteri Pene- rangan dan diantar oleh Gubernur Sumatera Tengah Mr. Sutan Muhammad Rasyid dan staf. Pada kesempatan itu pulalah beliau angkat bicara kepada Mr. Muhammad Yamin “Kalau memang engku jadi Menteri PPK, tolonglah anak saya ini diangkat jadi PNS” sembari menunjuk kepada anak beliau bernama Bahruddin Arrasuli.

“ Oh......jadih Nyiak, sia namo?”seraya menoleh kepada Bahruddin dengan logat Minang tukas pak Yamin sambil mengeluarkan notesnya untuk mencatat nama Bahruddin. Tidak berapa lama berselang setelah Pak Yamin kembali ke Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) Bahruddin dipanggil untuk mengajar di Sekolah Rakyat (sekarang SD) sebagai guru Agama, demikian kisah putra tertua beliau diangkat jadi pegawai negeri sipil (PNS).

Semenjak beliau diminta sebagai penasehat spritual pribadi Presiden Soekarno,beliau selalu dikunjungi pejabat tinggi negara bila berkunjung ke Sumatera Tengah, pejabat itu memastikan untuk singgah kekediaman Inyiak Syekh Sulaiman Arrasuli. Bahkan kepada penggantian pejabat Pusat dan Daerah selalu datang kepada beliau calon-cslon pengganti itu.

“Sifat-sifat beliau”


Atas perkembangan itu, pada tanggal 5 Nopember 1945 sesuai dengan maklumat Wakil Presiden Drs. Muhammad Hatta, Pertatuan Tarbiyah Islamiyah diperkenan mendirikan partai, dengan berbagai lobby dan kesepakatan Persatuan Tarbiyah Islamiyah resmi menjadi partai politik dengan nama “Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah atau disingkat dengan P.I. PERTI dengan logo “Masjid Menara”.

Nampaknya perjalanan Partai Islam PERTI tidak berjalan mulus, lebih banyak diwarnai gontok-gontok an dan “vested interes” dan kiprah partai sudah melenceng dari khittah organisasi yang sesungguhnya membina dan bergerak dibidang Sosial, Pendidikan dan Dakwah, bahkan kecenderungan meninggalkan misinya yang tidak menguntungkan kepentingan Pendidikan, Dakwah dan Sosial

Dalam kemelut itu, Pendiri Utama, Syekh Sulaiman Arrasuli (1969) men- “Dekrit”- kan untuk kembali ke khittah semula yaitu Pendidikan, Dakwah dan Sosial dan tidak lagi menganut politik praktis. Namun beberapa pentolan masih menganut politik praktis.

Kebenaran sejarah telah mengukir, bahwa beberapa Partai politik sebagai peserta Pemilu 1971 oleh pimpinan Nasional Bapak Presiden Suharto (1975) dan memperoleh kesepakatan dari partai-partai politik. Semua partai politik yang ada disederhanakan (difusikan) dan terdiri dari tiga partai yaitu : Partaii Demokrasi Indonesia (PDI), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sedangkan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (P.I.PERTI) berfusi (bergabung) dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Secara akal sehat, keberadaan P.I.Perti sudah otomatis bubar dan membubarkan diri. Tapi mengapa dan aa yang melatar belakangi sampai saat ini masih saja logo Masjid Menara masih saja dikibarkan, sedangkan organisasi induknya yang mendirikan partai Islam Pertatuan Tarbiyah Islamiyah (PI PERTI) sudah tidak lagi berdiri dibawah politik praktis. Ini perlu pemikiran bagi pengemban amanat organisasi untuk mencari jalan keluar keberadaan kedua organisasi kembali utuh menjadi satu sesuai dengan keinginan Pendiri alm. Syekh Sulaiman Arrasuli dan jama’ahnya.

Syekh Sulaiman Arrasuli yang dikenal oleh masyarakat Sumatera Barat sebagai Ulama, pejuang, pendidikan, muballigh, pengarang, ahli adat, organisatoris semasa hidupnya banyak memangku jabatan strategis baik dibidang pemerintahan sebagai Ketua Makamah Syari’ah Propinsi Sumatera Tengah, Penasehat gubernur Militer Propinsi Sumatera Tengah (peralihan Agresi II 1948), Angaota Konstituante hasil pemilu 1955 mewakili Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PI Perti).

Zaman penjajahan Jepang (1942) beliau selaku pimpinan organisasi Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah sangat di takuti oleh penjajah merongrong kekuasaan jepang bersama Organisai Muhammadiyah, pihak penguasa Jepang menteror serta mengintimidasi kedua organisasi tersebut supaya dibubarkan. Berkat diplomasi Syekh Sulaiman Arrasuli kedua organisasi Islam terbesar itu di Minangkabau sebagai penyandang penghargaan dari Pemerintahan “Perintis Kemerdekaan” beliau pergii menemui Kepala Intel (Tokukaco) Pemerintahan Militer Jepang di Padang.

Hasil pertemuan dengan penguasa militer Jepang kedua organisasi Islam tersebut tidak jadi dibubarkan tapi difusikan (digabung)diberi nama : MAJLIS ISLAM TINGGI MINANGKABAU dengan bersyarat harus membantu perang Asia Timur Raya. Selain itu Majlis Islalm Tinggi Minangkabau (MTIM) yang Ketua Umum dipegang oleh Syekh Sulaiman Arrasuli (Persatuan Tarbiyah Islamiyah ) dan Sekretaris HMD DT. Palimo Kayo berhasil membentuk BKR tersebut yang kemudian dipergunakan menatang penjajah. Pada tahun 1946 BKR tersebut berubah menjadi Lasykar Muslimin Indonesia (Lasymi) dan Lasykar Muslimat Indonesia yang kemudian seusai perjuangan bergabung menjadi satu dengan TNI.

Tanda jasa yang diperoleh Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Candung) – Bintang Perak Besar (1931) dari Kerajaan Belanda (Groote Zilveren Stervoor Trouwan Verdienste) atas jasa dan karyanya mengusahakan air bersih sepanjang 1,5 Kilometer untuk para santri Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung dan masyarakat sekitarnya.Tahun 1943 beliau dianugerahi Bintang Sakura dari Pemerintahan Jepang atas keberhasilan beliau mempersatu organisasi Islam di Minangkabau dalam wadah Majlis Islam Tinggi Minangkabau. Tahun 1975 dianugerahi :”Piagam Penghargaan” dari Gubernur Propinsi Sumatera Barat sebagai “Pejuang Pendididkan”.

Pada hari Sabtu, 28 Rabiul Awal 1390 H bertepatan tanggal 1 Agustus 1970 beliau dipanggil oleh Yang Maha Kuasa menghadap Sang Khalik, Innalillahiwainnailaihi ra ji’un. Pemerintahan Daerah Propinsi Sumatera Barat berkabung dengan bendera setengah tiang tujuh hari.


“Pengasuh”

MADRASAH TARBIYAH ISLAMIYAH CANDUNG yang komit dengan mengemban pesan pendiri berbunyi: “Teruskan membina Madrasah Tarbiyah Islamiyah sesuai dengan pelajaran yang kuberikan” secara terang dan jelas tertulis dinisan makam almarhum, maksud dari pesan itu adalah mata pelajaran yang diajarkan kepada peserta didik harus sesuai dengan pelajaran yang diberikan sebelumnya pada kitab-kitab Mazhab Imam Syafi’i r.a. (dijadikan pelajaran pokok)

Pondok Pesantren ini dikelola oleh Yayasan Syekh Sulaiman Arrasuli (akte Notaris Hasan Qalbii tanggal 4 September 1961 kini diasuh oleh 73 orang majlis guru terdiri dari 39 orang guru/ustadz memberikan pelajaran kitab dan 19 orang guru bidang studi umum sebagai penunjang program Aliyah dan Tsanawiyah.

Sedangkan latar belakang guru/tenaga pengajar diambil dari alumni yang sudah mengikuti jenjang pendidikan tinggi/perguruan Tinggi S1 IAIN dan S1 Perguruan Tinggi Umum yang sudah akta IV, baik untuk guru bidang studi pembelajaran kitab, maupun untuk pembelajaran bidang studi kurikulum program Departemen Agama RI untuk Aliyah dan Tsanawiyah, status tk. Aliyah sudah diakriditasi ”disamakan” dengan sk. Menteri Agama RI Nomor :A/E.IV/MA/030/1998 Tk.Tsanawiyah sudah mendapat status akriditasi “disamakan” dengan sk. Ka. Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Sumatera Barat dengan Nomor: A/WC/MTs/0003/1997.

Pimpinan pengasuh dari tahun 1903-1907 dipegang ayahanda Syekh Sulaiman Arrasuli bernama Tuanku Mudo Muhammad Rasul,kemudian sekembalinya dari tanah suci Makkah belajar mengaji dengan Syekh AchmadKhatibAl-Minang-kabauwi(1903-1907) selanjut nya“Halaqah” kembali dipegang oleh sang Buya sampai tahun 1928. dalam perjalanan sejarah berdiri Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung (1928) kepemimpinannya dipegang lansung oleh Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang) dibantu oleh putra beliau seperti Syekh Bahruddin Arrasuli, Syekh Muhammad Zen Arrasuli, Syekh Syahruddin Arrasuli, H. Muhammad Nur Arrasuli (masing-masing adalah putra beliau) dan beberapa alumni senior beliau seperti: H.Izzuddin Marzuki LAL (alumni University Al-Azhar, Kairo, Mesir), Abdullah Ali, Nawawi Wahid, Abdur Rahman Tuanku Sutan, H.M.Shaleh, H.M.Salim Umar, Angku Katin (keponakan) (1920-1970), kesemuanya jebolan MTI Canduang yang sangat menguasai ilmu Fiqh/Ushul Fiqh.

Tahun 1970 tepatnya tanggal 1 Agustus 1970 Syekh Sulaiman Arrasuli (1871-1970) dipanggil Yang Maha Esa Sang Khalik dalam usia 99 tahun dengan tenang kepemimpinan pesantren diserahkan kepada putra tertuanya Syekh Bahruddin Arrasuli,secara otodidak sangat menguasai bahasa Inggeris,bahasa Belanda dan bahasa Arab secara fasih serta ilmu kitab tiada tandingannya dan sangat mahir kitab apapun. Namun kesempatan beliau untuk memimpin hanya 1 tahun,karena pada tahun 1971 beliau dipanggil ke Jakarta sebagai anggota DPR RI mewakili fraksi Karya Pembangunan utusan Sumatera Barat.

Semasa Syekh Bahruddin yang lahir tanggal 23 Nopember 1914 sangat rajin membaca buku-buku berbahasa Inggeris-berbahasa Belanda,sedangkan bahasa Arab dipelajari sewaktu belajar mengaji diPesantren Madrasah Tarbiyah Jaho Padang Panjang(Pesantren Syekh Muhammad Djamil Jaho, sahabat karib (alm) Syekh Sulaiman Arrasuli.

Demikian halnya, Bahruddin kecil sangat suka membuka kamus bahasa Arab-Inggeris dan Belanda. Kemana pergi kamus-kamus itu tetap dibawa. Pendidikan formal yang diikuti selain Sekolah Desa, belajar mengaji di Jaho Padang Panjang, memperdalam ilmu Tashauf dengan beberapa orang guru diberbagai tempat. Selesai menamatkan pelajaran diberbagai tempat Bahruddin beliau lansung mengajar di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung dan membantu kegiatan-kegiatan “Sang Buya” (Inyiak Canduang) dan pernah diangkat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Tarbiyah Islamiyah beberapa periode dalam Mubes sewaktu kepengurusan dipusatkan di Bukittinggi dan beberapa jabatan penting lainnya.

Atas tugas yang dipercayakan kepada Syekh Bahruddin Arrasuli sebagai anggota Parlemen (DPR-RI) Kepemimpinan beliau hanya berjalan 1 tahun (1970-1971) dan pindah ke Jakarta. Pimpinan Pondok dialihkan kepada Syekh Syahruddin Arrasuli (putra ke 7 dari 22 orang bersaudara sekarang masih hidup 5 orang,2 laki-laki, yaitu Syekh Syahruddin Arrasuli (89),H.Muhammad Noor Arrasuli (74) dan 3 perempuan ) sampai sekarang.

“Struktur “

Struktur kepengurusan pada Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung saat ini adalah :

1. Syekh Bahruddin Arrasuli,. Merangkap anggota DPR-
RI priode 1971 – 1977 (wafat 29 Desember 2002)
2. Syekh Syahruddin Arrasuli, sebagai Syaikhul Madrasah sudah wafat tanggal 24 Desember 2005
3. H. Muhammad Noor Arrasuli (putra pendiri mantan Anggota DPR-RI periode 1992-1997 sebagai Raisul ‘Aam, belajar mengaji di MTI Candung,
4. Badra Syahruddin, SH Raisul Madrasah
5. Drs. H. Syukri Iska, M.Ag (Musaid bidang Kurkulim)
6. H. Amhar Zen Arrasuli, (Musaid Bid. Adm/Keuangan)
7. Zahri Djamar (putra pendiri PP Madrasah Tarbiyah Islamiyah III Kampung, Candung, Djama’an Angku Laut (alm) sangat kental dengan ilmu Fiqh.
8. Drs.Muhammad Nur, PNS diperbantukan untuk mengurusi Pendidikan Kitab Klasik untuk Tingkat Aliyah, jebolan pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo, Padang Panjang dan S1 nya diperoleh dari IAIN Imam Bonjol, Padang sangat menguasai ilmu Tasauf, karena beliau adalah alumnii pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo ini mempunyai ciri khusus pengembang ilmu Tasauf.

9. Hasan Basri, BA ditugasi mengurus Pendidikan Kitab Kuning tingkat Tsanawiyah, alumni dari pesantren Madarsah Tarbiyah Islamiyah Candung, pendidikan tinggi sempat diikuti sampai tingkat Sarjana Muda di Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol, Padang filial Bukittinggi
10.Y.B. Arrasuli (cucu pendiri, putra Syekh Bahruddin Arrasuli) di tugasi sebagai Sekretaris Pimpinan / Madrasah berlatar belakang pendidikan Halaqah /Takashassus dan lebih banyak mengikuti pelajaran umum secara otodidak serta aktif diberbagai kegiatan kemasyarakatan. Adalah ujung tombak pesantren mempersiapkan konsep, perencanaan, sirkulasi informasi keluar sebagai penghubung dengan pihak Pemerintah, instansi terkait, sipil dan militer dan masyarakat sebagai juru bicara Madrasah.

“Pembelajaran”

Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung berdiri megah dilingkungan masyarakat agraris dikaki Gunung Merapi ketinggian 920 Meter dari permukaan laut dengan siklus udara 18 derjat Celcius, lingkungan yang ramah,dengan suhu udara yang sejuk diatas hamparan menghijau terletak di Kanagarian Candung Koto Laweh, Kecamatan Candung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat dengan keadaan kondisi sosial masyarakatnya sangat memadai dan bebas dari buta aksara baik tulis baca latin dan al-Qur’an dan 100% menganut Agam Islam.

Pembelajaran dilakukan dengan metode memadukan dan mengkorelasikan proses belajar mengajar pada kitab kuning mengunakan program pengajaran dan methodologi peraga, media dan labor sesuai dengan kurikulum yang telah diintegrasikan dengan kurikulum Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung dengan kurikulum dari Departemen Agama RI untuk mata pelajaran Tsanawiyah dan Aliyah.

Program penunjang pengyelengarakan pendidikan Muhadharah, Muzhakarah Mujadallah adalah mempersiapkan santri agar mampu beradaptasi dengan masyarakat untuk menghadapi tantangan dan tuntutan zaman.

Program pendidikan tingkat Tsanawiyah dan Aliyah yang statusnya sudah disamakan dengan Tsanawiyah dan Aliyah Negeri diformulasikan dalam kelas formal (secara terpisah) pada jam pelajaran khusus yang kurikulumnya belum teintegrasi dengan kurikulum Departemen Agam RI. Sehinga dapat diciptakan prestasi siswa yang memadai. Dengan sistem tersebut diatas, sistem pembelajaran “Salafiyah” sudah tercakup mengunakan methode tersebut. Sedangkan pendidikan keterampilan dijadikan muatan lokal seperti :pembelajaran komputer, kemhiran berbahasa arab dan bahasa inggeris melalui labor “Bahasa” dan Labor “Komputer “ditambah dengan pendidikan keterampilan “Tata Busana” bekerja sama dengan pengrajin /home industri masyarakat sekitar.

Kitab-kitab yang diajarkan:

Kitab-kitab yang diajarkan di Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung sejak didirak 5 Mei 1928 meliputi :

1. Tafsir : Tafsir Jalalani, al-Khazain, al-Maraghi,
Al-Munir

2. Hadist : Matan al-Arbain, an- Nawawiyah, Machta
Rul Hadist, as-Sanwani, al-Jawaahiru
al-Buchari, al- Hadist al-Luqawiyah.
Fathul Baarriy.

3. Tauhid : al-Aqwal al-Mardhiyah, Jawahir
al-Kalamiyah, Kifayah al-Awam,Fathul
Majid, as-Dasuqy

4. Syaraf : Matan al-Bina, al-Kaillani, Qawa’id
al-Lughah al-Arabiyah.

5. Akhlak : Akhlakul Banin, Maraqi al-Ubudiyah
Tasauf Minhaj al-Abidin,Syarah al-Hikam

6. Fiqih :Matan Algayah Taqrib, Fathul al-Qarib
al- Qarib, I’anah al-Thalibin,al-Mahaly,
Asyabah wan Nazhair, Bidayah al-Mujtahid
al-Mujtahid.

7. Ushul Fiqh :Bidayah al-Ushul, al-Warqad –Lathaif
al- Isyarah, al-Banani,

8. Nahu :Matan al-Jurumiyah, Mukhtasyar
Jidda, al-Azhari, Qatar al-Nida, al-Khudry

9. Tarekh :Khulasah Nur al-Yaqin. Nuru al-Yaqin
Itmamul al-Wafaa

10. Balaqah :al-qawa’id, al-Luqawiyah, Syarah Jauhar
Maknun

11. Mantiq : Idhahul Mubhan , Saban Malwi.

12. Mazahib : Bidayah al-Mujtahid

13 Qawa’id Fiqih : al-Asbah wan Naair

Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung (1950-1960) ramai menampung santri dari mancanegara seperti Malaysia dan Singapura, demikian juga kuantitas santri bervariasi diatas 2000 orang berasal dari berbagai daerah seperti :Sumatera Barat, Riau, Kepri, Sumatera Utara, Aceh, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Jambi dan dari pulau Jawa. Setelah perjolakan daerah (PRRI) 1958 dengan tidak kondusifnya situasi daerah dibidang keamanan animo santri menyusut disusul dengan pengaruh global, degradasi fungsi dan peraturan perundang-undangan dan sk. Tiga Menteri tentang jenjang pendidikan yang disetarakan adalah Ijazah Aliyah, sedangkanIjazah Pesantren disetarakan dengan Ijazah Sekolah Taman Kanak-kanak.
“Alumni”

Peranan alumni pesantren sangat mendukung mengisi kemerdekaan dan pembangunan Bangsa, terbukti 5621 alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung turut berkiprah diberbagai disiplin ilmu tersebar di tanah air sebagai tokoh Nasional, pengusaha, politikus, Birokrat, Ilmuwan dan Budayawan, Menteri Kesejahteraan Rakyat, Buya Siradjuddin Abbas sebagai alumni pertama (Kabinet Wilopo) bahkan diantaranya banyak yang mengisi jabatan, Rektor Perguruan Tinggi, Dekan, Dosen Lembaga keagamaan seperti, Pengadilan Agama, Hakim Agama, P3NTR, dan Ilmuwan pimpinan perguruan tinggi.

“Sarana /Prasarana”

Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung sebagai institusi Pendidikan Islam swasta murni selama 79 tahun (5 Mei 1928) menyelenggarakan pendidikan dalam berbagai program Ilmu Keagamaan dan penguasdaan *kitab kuning/klasik sebagai kitab standart Mazab Imam Syafi’i r.a dan kitab ilmu pengetahuan Islam lainnya.

Menghadapi kompetisi pasar global pada umumnya dirasa perlu menyiapkan peserta didik yang ahli dan terampil menguasai Ilmu Agama (“tafaqquh fiddin”) yang memiliki etika dan moral Agama.

Untuk memenuhi sumber daya manusia yang berkualitas kedepan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung mulai pada tahun ajaran 2006/2007 membuka program khusus penguaasaan sain’s dan tehnologi melalui program Sain’s & Tehnologi Equity Program (STEP-2-IDB) dengan jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) tanpa mengubah dan mengurangi kurikulum yang ada yang telah terbina pada Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung dengan menggunakan fasilitas Labor termodern merupakan bantuan dari Islamic Development Bank yang berpusat di Riyath, Arab Saudi mmelalui Departemen Agama RI sebagai mengembang kan missi:

1. Untuk menyiapkan calon pemimpin masa depan yang menguasai Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi mempunyai daya juang yang tinggi, kreatif invatif, pro aktif yang mempunyai landasan iman, taqwa, berakhlakul karimah dan penguasaan ilmu Agama yang mantap.
2. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesionalisme tenaga kependidikan sesuai dengan perkembangan dan bidangnya.

3. Menjadikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung sebagai barometer lembaaga pendidikan Islam yang berbasis al-Qur’an dan Hadist melalui “kitab kuning” sekaligus sebagai upaya pengembangan sain’s dan Tehnologi.

Menggunakan kurikulum yang sudak diintegrasikan dengan mata pelajaran Aliyah dan Tsanawiyah dari Departemen Agama RI sesuai dengan visi daan missi institusi in dan target yang mngacu kepada siswa sebagai pusat pembelajaran (student learning centre), kurikulum dikemas dalam bentuk:

*). Struktur program yang dititik beratkan pada penguasaan basic knowlad of science and tehnologi
pendidikan psantren serta penguasaan Bahasa Inggeris dan Bahasa Arab.

*). Kurikulum yang diperkaya dengan pendidikan ketrampilan (life skil)

*). Menggunakan pendekatan intelektual, kegiatan, ke-
Teladanan dan laboratorium

Kegiatan penunjang dalam proses belajar mengajar adalah :

1. Responsi kegiatan terukur guna meningkatkanan penguasaan konsep dan melatih siswa.

2. Klinik mata pelajaran adalah merupakan program pengajaran remidi guna mencapai ketuntasan belajar.


3. Ketrampilan tata busana : Bagi siswa yang berbakat dibidang tata busana dididik menjadi trampil penguasaan produksi dan penguasaan pasar, mengolah produksi busana serta peran cang mode (designer) industri kompeksi milik Koperasi Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung.

4. Komputer berbasis Internet: Melalui labor komputer siswa dididik pengesuaan pengetahuan komputer dan mahir dengan methode tehnologi komputer dan penguasaan komputer berbasis Internet serta mereka dididik sebagai tehnisi komputer, disain grafis, korel, microsoff word untuk industri grafika.


5. Program Unggulan khusus “Fiqh” pembelajaran ilmu Fiqh dan Qawa’id selama 6(enam) tahun disamping pembelajaran bidang study lainnya adalah memantapkan santri mengusai Agama agar mereka menjadi insan “tafaqquh fiddin” dalam rangka mewujudkan program Pemerintah Kabupaten Agam untuk mengisi visi dan missi “Agam mandiri, Berprestasi dan Madani”

6. Muzakarah, Muhadharah dan Mujadaallah : Adalah program penunjang penyelenggaraan pendidikan untuk mempersiapkan santri agar ampu beradaptasi dengan masyarakat dalam menghadaoi tantangan global.

Jenjang pendidikan di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung adalah sebagai berikut:

1. Program mempelajari ilmu Agama dengan refrensii pokok “kitab kuning”
2. Tahun pertama kelas persiapan
3. Tahun ke 2, 3, 4 adalah program kitab kuning plus Tsanawiyah
4. Tahun ke 5, 6, 7 adalah program kitab kuning plus Aliyah.

Program khusus Tarbiyah (khusus kitab kuning murni) sebagai lanjutan Kelas IV sebagai lanjutan dari tamatan Tsanawiyah Negeri/Swasta atau sederajat dididik sebagai kader Ulama dan penguasaan kitab kuning dari sumber aslinya.

A. Program khusus untuk lanjutan 5, 6, 7 diterima lulusan Madrasah Tsanawiyah Negeri/Swata atat sederajat untuk dididik menguasai ilmu Agama (tafaqquh fiddin) sekaligus pengusaan penguatan program “sains Tehnologi Equity Program (STEP-2-IDB) peserta didik dipersiapkan untuk mengikuti mata pelajaran jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) untuk ikut bersaing mengikuti Olimpyade MAFIKIB, Latihan Karya Ilmiyah Remaja (LKIR) serta MUSABAQAH Qiraatil Kutub (MQK) dengan menggunakan labor termodern STEP-2-IDB satu-nya di Sumatera Barat.

B. Program Ma’had Aly (2 tahun) bagi siswa tamatan kelas VII dan umum yang ingin memperdalam ilmu Agama Islam guna tersedianya calon Ulama, Muballigh, guru kitab kuning yang handal dan profesionil.


C. Program Qira’ah al-Qur’an selain memebrikan pendidikan dasar al-Qur’an juga memberikan program khusus penguasaan “seni baca al-Qur’an” juga memberikan pembelajaran makhraj dan tajuid, program ini dari tingkat dasar (jenjang 1) dan diasuh oleh Qari/Qari’ah yang berprestasi tingkat Nasional dan Propinsi Sumatera Barat.

D. Menyelenggarakan profzil al-Qur’an sampai 30 Juzz dan Tafsir dalam bahasa Arab dan Inggris

Untuk kelancaran Madrasah Tarbiyah Islamiyah didukung dengan beberapa fasilitas dan institusii pengembangan pendidikan seperti : 27 lokal ruang belajar, 3 ruangan perpustakaan dengan memiliki 17.569 buah buku dengan berbagai judul dan Kitab kuning sebagai penunjang proses belajar mengajar dilengkapi dengan automasi perpustakaan yang siap menyajikan data secara cepat dan tepat.1 ruangan auditorium untuk acara-acara resmi. Labor Bahasa 20 channel untuk mendukung pembelajaran berbahasa Arab dan Inggeris yang dilengkapi dengan buku panduan, casette, video dan TV monitor dengan ruangan yang nyaman.

“Siap pakai dan mandiri”

Selain memiliki ruangan kantor, ruang belajar, masjid kampus permanent santri diberi kesempatan mengikuti program unggulan/takhashshus pendalaman pembelajaran ilmu Fiqh melalui Pendidikan Tinggi Pesantren “MA’HA ‘ALY” Tarbiyah Islamiyah Candung atau memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Mulai tahun ini (2007) santri-santri akan memperoleh kemampuan lebih dan diharapkan siap pakai dan mandiri, sebab dengan fasilitas melalui program penguatan Sain’s & Teknologi Equity Program (STEP) IDB atas bantuan Islamic Development Bank (IDB) mereka dipersiapkan untuk menguasai tekhnologi komputer dan pengoperasiannya, Labor komputer berbasis internet, Labor Bahasa berbasis komputer, Labor IPA,seperti Kimia, Fisika, Biologi, Matematika dan work shop Tata Busana diimbangi dengan penguasaan bahasa Arab dan Inggeris yang fasih dengan sistem pembelajaran melalui labor yang bertekhnologi tinggi.

Demikian halnya untuk Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) seperti :Fisika, Kimia, Matematika, Biologi sistem pembelajarannya melalui masing-masing Labor. Kemudian mereka dipersiapkan kemampuan Ilmu Kewirausahaan sampai kepada praktek produksi dibidang keterampilan tata busana sampai, sampaii kepada penguasaan produksi tata busanan dan pengusaan pasar

Bantuan penguatan Sain’s & Tekhnologi Equity Program (STEP-2-IDB) untuk madrasah melalui Departeman Agama RI, Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung adalah satu-satunya untuk Sumatera Barat diantara 30 pesantren di Indonesia adalah sebagai tindak lanjut dari STEP-I-IDB yang ada di Serpong, Jawa Barat dan Gorontalo

Syekh Sulaiman Arrasuli gelar Malin Mangiang. Lebih populer dengan sebutan “Inyiak Candung”, yang berarti Ulama Besar dari Candung. Beliau dilahirkan pada tahun baru islam,di bulan Muharram 1297 H, bersamaan dengan 10 Desember tahun 1871M; di desa Candung, Kecamatan IV Angkat, Kabupaten Agam, KM 10 jalan Bukittingi – Payakumbuh.
Ayah beliau bernama Angku Mudo Muhammad Rasul,seorang ulama yang mengajar di Surau Tanggah desa itu. Dan ibunya bernama Siti Buliah, suku Caniago, seorang wanita taat beragama dan menjunjung tinggi adat istiadat yang luhur.
Canduang, sebuah desa pertanian yang luas dan subur, berhawa sejuk dikaki Gunung Merapi. Disini pula kemudian bermukim dan menetap Inyiak Canduang dan berhasil mendirikan sebuah perguruan Islam yang terkenal dengan Madrasah Tarbiyah Isla miyah. Semula tahun 1907, pengajaran dan pendidikan beliau, semula dengan sistem halaqah (duduk bersila) melingkar dilantai Surau Baru dari pukul:8.00 WIB s.d. pukul :13.00 WIB, kemudian ditingkatkan dalam bentuk kelasikal (madrasah) tahun 1928, dengan masa belajar 7 tahun. Dan akhirnya Madrasah Tarbiyah Islamiyah ini berkembang di berbagai daerah di Sumbar.
Sebenarnya sejak usia sepuluh tahun Sulaiman sudah dibimbing orang tuanya ilmu agama. Memang, baik ayah maupun ibunya menginginkan anaknya ini kelak menjadi seorang ulama.
Maka mulailah ia belajar mangaji Al-Quran sampai tamat (tajwid/irama) di Batuhampar Kabupaten 50 Kota. Di samping itu belajar menulis dan membaca huruf Latin dengan seorang keluarga Tuanku Laras Candung yang kebetulan juga sedang belajar di perguruan agama Batuhampar (1307). Selanjutnya juga belajar dengan Syekh Abdus Samad Tuanku Samiak di Biaro IV Angkat Agam.
Bukan hanya sampai di situ, ia melanjutkan pelaja ran agama dengan Syekh Mohd. Ali Tuanku Kolok di Sugayang Tanah Datar. Kemudian dengan Syekh Abdul Salam di Banuhampu, Agam. Beliau juga belum merasa puas, maka ia berangkat lagi ke Situjuh, 50 Kota dan belajar dengan Syekh Muhammad Salim Al-Khalidi. Selasai di sana meneruskan pelajarannya kepada Syekh Abdullah di Halaban, 50 Kota. Dan disini pula beliau mendapat kepercayaan sebagai “guru tuo” (guru bantu/asisten).
Walau sudah berbagai ilmu agama ;mulai dari ilmu alat-nahu, sharaf, ushul fiqih, tafsir, hadis, tauhid, fiqih mantiq, balaqah dsb-nya sudah dipelajari di Ranah Minang dengan berbagai ulama besar waktu itu, Inyiak Canduang belum puas. Apalagi suasana di daerah sedang berjuang menghadapi tekanan kolonial Belanda dan mengharapkan lahirnya para pemimpin yang akan memimpin umat.
Mengingat beratnya susana waktu itu, ia pun bertekat melanjutkan pendidikan agama di Makkah Al Mukarramah (1903-1907M) dengan ulama –ulama besar seperti : Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi (Mufti mazhan Syafe’i di Makkah),Syekh Nawawi Albanteni, Syekh Mukhtar Attarid, Syekh Muhammad Syatha, Syekh Said Umar Bejened, Syekh Said Babasil Al-Yamani dll.
Almarhum semusim sama belajar di Makkah dengan Syekh Abdul Karim Amarullah (1879-1949),ayah DR.HAMKA, Syekh Muhammad Jamil Jaho (1875-1945),ayah H. Bachtiar Djamily, Syekh Djamil Djambek, Bukittingi (1862-1947), ayah Dahlan Djambek dan Syekh Ababas Abdullah, Padang Japang (1883-1957).
Aktivitas dan perjuangan
Setelah kembali dari Mekkah Al Mukarramah, beliau mendirikan dan meminpim pengajian di “Surau Baru”. Semula dengan sistem halaqah (duduk bersila dilantai). Pengajian yang cikal bakalnya madrasah ini sistemnya sudah teratur dengan baik, dengan mengadopsi sistem belajar yang beliau pelajari di mekah.
Disamping mengajar anak didiknya beliau juga selalu berdakwah mencerdaskan dan membina mental ummat dari mesjid/mushalla ke mesjid/mushallla lain di seputar Sumatera Barat.
Memberantas kepercayaan syirik, khurafat dan takhayyul seperti ke Baso, Lasi, Kamang, Pandai Sikek dan lain-lain. Pada tahun 1912, beliau pernah menetap di Pandai Sikek, hampir delapan lamanya, atas permintaan Tuanku Laras VI Koto Pandang Panjang.. Tuanku Laras minta untuk memberantas dan melenyapkan ajaran Tarikat Keras ( bercampur sihir). Sementara itu dua kali seminggu beliau mengadakan dakwah di mesjid Bukit Surungan Padang Panjang.
Pada tahun 1915 M, beliau diangkat secara resmi menjadi Qadhi di nagari Candung.
Dalam tahun 1921-1928, Syekh Sulaiman Arrasuli bersama Syekh H. Abbas Al-Qadhi Ladang Lawas, Syekh Muhammad Jamil Jaho serta ulama sepaham lainnya mendirikan organisasi Ittihadul Ulama Minang Kabau. Organisasi ini merupakan tempat berkumpulnya ulama-ulama Sanniyah-Syafi’iyah mengkaji dan mengeluarkan fatwa-fatwa agama.
Tahun 1917, beliau juga terpilih sebagai Ketua Umum “ Syarikat Islam (SI) untuk daerah Canduang-Baso......dan dalam tahun 1927 diundang dalam Mubes Adat dari penguasa di daerah raja Gunung Shilan (Zelf Bestur van Kampar Kiri),Teluk Kuantan Dan Pulau Gadang untuk memberikan ceramah umum, fatwa-fatwa agama dan adat. Dan memang beliau adalah ulama yang juga ahli adat.
Demikian juga halnya dengan amar makruf dan nahi mungkar lainnya; pada tahun 1936 beliau menentang aliran Qadariyah dan Komunis (anti Tuhan) yang muncul waktu itu. Di masa kolonial itu, melalui Kongres Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1937), beliau juga menolak dengan tegas Ordonansi Sekolah Liar (1932) dan Ordonansi Kawin Bercatat (melalui Catatan Sipil) dan tahun 1942 menentang politik Bumi Hangus Kolonial.
Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung didirikan :
Syekh Sulaiman Arrasuli bersama temannya Syekh H. Abbas Al-Qhadi Ladang Lawas cs berhasil membangun dan mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung tanggal 15 Zulkaedah 1346 H bersamaan dengan tanggal 5 Mei 1928 M. Madrasah ini merupakan dari sistem surau yang berhalaqah menjadi sistem klassikal dengan masa belajar 7 tahun.
Pada peresmian Madrasah ini hadir para ulama dan pemimpin surau-surau dari berbagai daerah di Sumbar itu. Pada kesempatan itu berhasil pula membentuk wadah komonikasi silaturrahmi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI). Wadah ini ditetapkan sebagai cikal bakal berdirinya organisasi kemasyarakatan yang dikenal dengan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Kemudian dinyatakan bahwa peresmian MTI Candung sebagai hari lahirnya Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Canduang.
Lahirnya Persatuan Tarbiyah Islamiyah adalah untuk mengelola semua Madrasah yang saat itu sudah banyak yang lahir. Yang akhirnya berkembang keseluruh Indonesia. Sehingga pada tahun 1979 diperkirakan di Sumatera Barat terdapat 216 MTI, disamping telah berdiri pula Fak. Tarbiyah Univ. Ahlussunnah di Bukittinggi tahun 1969 yang dipimpin oleh H. Ma’ana Hasnuti, Dt. Tan Pahlawan, MA.
Namun PERTI ini tahun 1946, yang semula merupakan organisasi sosial keagamaan, lalu merobah diri menjadi suatu partai politik, sesuai dengan gejolak revolusi. Tetapi 1 Maret 1969 Partai Islam PERTI pecah menjadi dua bagian-sebagian kembali menjadi organisasi sosial keagamaan dan sebagian lagi tetap merupakan partai politik.
Bukan hanya itu, perjuangan Syekh Sualiman semasa penjajahan Jepang, pantas pula disimak. Dimana berkat diplomasinya yang tinggi berhasil menggagalkan niat pemerintah Jepang untuk membubarkan ormas Islam Muhammadiyah dan Perti yang sangat berpengaruh pada masyarakat. Beliau dengan teman-teman ulamanya berhasil pula menggelorakan semangat pemuda-pemuda untuk memasuki Lasykar Rakyat, persiapan merebut kemerdekaan (1944).
Sebagai Ketua Umum Majelis Tinggi Islam Minangkabau (MITM), Syekh Sulaiman berhasil pula memperkokoh kerukunan interen ulama dan umat Islam Sumatera Barat. Tokoh Ulama dari kalangan” kaum muda” dan “kaum tua” bersepakat:
a) Masalah-masalah khilafiyah, bukanlah bid’ah.
b) Bertaqlid kepada imam mazhab dibiarkan, tidak boleh diganggu.
c) Sedapat mungkin ,menghindarkan diri dari cela mencela satu sama lain.

Masa Kemerdekaan
Perjuangan beliau semasa kemerdekaan diantaranya Memenuhi Maklumat (himbauan) wakil Presiden RI Dr. Mohammad Hatta No X/3 Nopember 1945, untuk mendirikan partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat. Syekh Sulaiman Arrasuli ditetapkan oleh Perti sebagai Penasehat Tertinggi. Ini berlanjut sampai memasuki era Orde Baru.
Tahun 1946, turut mendirikan Lasykar Muslimin Indonesia dan Lasykar Muslimat Indonesia di Bukittinggi, dihadiri Menpen RI M. Natsir,kemudian Lasykar ini bergabung dengan TNI. Tahun 1947, tourne ke front-front pertempuran, mengobarkan semangat jihad fi sabilillah pada seluruh pasukan tentara... Masih pada tahun tersebut beliau menggagaskan berdirinya Mahkamah Syari’ah di Sumatera Tengah dan ia pun diangkat oleh Menteri Agama sebagai Ketua Mahkamah Syari’ah Sumatera Tengah (1947-1960). Dan pada tahun 1948, beliau diangkat sebagai Penasehat Gubernur Sumatera Tengah.
Ditahun 1954, Syekh Sulaiman Arrasuli melaksanakan Kongres Segi Tiga (1954) di Bukittinggi yang dihadiri oleh Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai Minangkabau. Beliau terpilih sebagai Ketua Umum M.B.Dt.Rajo Sampono sebagai Sekretaris Umum. Hasil Kongres adalah :” sepakat bahwa harta warisan atau pusaka tinggi tetap dibagi menurut Adat, sedangkan harta pencaharian atau pusaka rendah dibagi menurut Syari’at (Faraidh)” Kongres dihadiri H. Agus Salim, HM. Djunaidi dari Kementrian Agama Jakarta dan keputusan disampaikan kepada Pemerintah Pusat.
Begitu pula tahun 1955, beliau terpilih sebagai anggota kontituante. Sebagai anggota tertua beliau banyak dapat dukungan dari partai Islam dan dari M.Natsir dan Mr. Mohd. Yamin. Tahun 1956, ia juga terpilih sebagai salah seorang Ketua Komisi pada Muktamar bertujuan menentang komunis yang telah mulai memperliahtkan kukunya dalam berbagai kehidupan berbangsa. Disamping tetap aktif dan tekun memimpin dan mengajar di MTI Canduang sampai akhir hayatnya, juga giat berdakwah membendung pengaruh gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ketika itu mendiskriditkan kalangan agama dan bertindak brutal.
“Pengarang Produktif”
Selain aktif dalam bidang pendidikan, Syekh Sulaiman juga mencemplungkan diri kedunia karang mengarang. Bakat ini telah nampak sejak ia muda belia. Ternyata sepucuk surat yang dikirimkannya kepada istrinya (yang ditinggalkannya untuk beberapa waktu untuk melanjutkan pelajaran di Makkah), surat itu ditulisnya dalam bentuk pantun yang indah dan romantis; yang mencerminkan cinta kasih seseorang suami kepada istrinya yang setia. Lihatlah beberapa bait yang dipilih dari pantunnya yang panjang kepada istrinya Shfiyah:
Kehadapan adinda wajah gemilang
Nama shafiyah dimashurkan orang
Dinegri candung masa sekarang
Di Batu Balantai di bawah kubang
Kanda sekarang dalam berlayar
Tiba dipulau rasalah hampar
Berkat pertolongan Tuhan yang Qadir
Perbanyak sabar bathin dan lahir
Perkiriman adinda belum dibeli
Harganya mahal amatlah tinggi
Nanti kemudian dilain hari
Sadang kapulang kakanda beli.

Dalam karang mengarang kehadirannya juga terbukti sebagai pengarang produktif. Diantaranya lahir karangannya, antara lain sbb:
1) Dlau-us Siraj fil Isra’ Wal Mi’raj (Mi’raj Nabi).
2) Tsamaratul Ihsan fi Wiladah Syyidil Insan (maulud Nabi).
3) Dawaul Qulub fi Qish-shah Yusuf wa Ya’cub (sejarah Nabi).
4) Risalah Al Aqwalul Washithah Didz-dzikir War Rabithah (Tasawwuf) dan banyak lagi, yang jumlahnya mencapai 12 tulisan.
Syekh Sulaiman Arrasuli terkenal sebagai Ahli Adat yang campin dan sering memberikan nasehat Adat dalam ceramah-ceramahnya. Beliau juga mengarang buku Adat Minangkabau serta aktif sebagai seorang pengurus Majelis Tinggi Kerapatan Adat Minangkabau (MTKAAM) yang Ketua Umumnya Ahmad Yakub Dt. Simarajo. Kemudian MTKAAM menjadi Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) yang Ketua Umumnya Drs.H.Hasan Basri Durin Dt. Rangkayo Mulie Nan Kuniang.
“Mengembirakan”
Sementara itu perkembangan Madrasah Candung sekarang cukup mengembirakan. Dipimpin oleh Buya Syahruddin Arrasuli (Putra ke 6 Syekh Sulaiman Arrasuli) dan didampinggi Y.B Arrasuli Rangkayo Batuah, (cucu, putra Syekh Bahruddin Arrasuli)
Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung kini mengasuh 876 orang murid yang ditempatkan pada 27 lokal belajar. Di antara mereka hanya sebagian kecil di asrama,karena asrama putri hanya mampu menampung 240 orang dan putra hanya 80 orang. Maka sebagian besar siswa masih menempati rumah penduduk yang terdekat. Diakui untuk menambah uang asrama, pihak yayasan kesulitan untuk mendapatkan tanah. Memang belum dilakukan pendekatan yang serius dengan warga setempat bahwa bila mereka tak bersedia mewakafkan, mungkin dibeli? Belum ada usaha ke arah itu. Diharapkan alumni dan cendikiawan Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Persatuan Tarbiyah yang jumlahnya banyak turut memikirkannya.
Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung, sama halnya dengan Madrasah Thawalib Parabek, yaitu memakai kurikulum Departemen Agama RI. Namun di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung mengusahakan sampai anak tamat dapat hendaknya menguasai 70 persen ilmu agama dan 30 persen ilmu umum. Sedangkan ijazahnya ada tiga macam yaitu : Ijazah Tarbiyah (7 tahun) ijazah Tsanawiyah dan Ijazah Aliyah, ditambah dengan berbagai sertifikat ketrampilan dengan demikian anak belajar selama 7 tahun. Madrasah Aliyah ini, oleh oleh Badan Akriditasi Nasional sudah diberikan status terakriditasi “A” (disamakan) tahun 2008, sedangkan tingkat Tsanawiyah terakriditasi disamakan oleh Ka. Kanwil Departemen Agama Propinsi Sumatera Barat tahun 1997
Y.B Arrasuli juga mengakui dengan ijazah Tsanawiyah dan Aliyah ini, kecendrungan siswa membaca kitab / lebih mendalami agama semakin menurun. Mereka cendrung hanya mencari ijazah yang “civil effect” agar bisa berkiprah sebagai PNS ketimbang menthalaah kitab. seperti sekarang melalui Takhassus mendalami il mu agama yang tergabung dalam Ma’had Ali.


“Kembali untuk selamanya”
Syekh Sulaiman Arrasul, yang dimansyurkan dengan Inyiak dan Buya Candung, wafat dengan tenang hari Sabtu, 28 Rabi’ul Akhir 1390 H, bersamaan dengan 1 Agustus 1970 M. Tidak kurang dari enam ribu orang pelayat turut mengantar jenazah almarhum ke pemakaman di halaman Komplek MTI Candung. Bertindak menjadi imam shalat jenazah Buya H.Masur Dt.Nagari Basa, murid senior beliau. Hadir me
lepas jenazah. Gubernur Sumbar Prof.Drs. H.Harun Zen dan Pangdam III/17 Agustus serta pejabat pemerintah lain sipil maupun militer.
Buya Prof.DR. Hamka ynag sedang mengikuti seminar Sejarah Islam Minangkabau di Batusangkar, tidak sempat shalat jenazah berjamaah, hanya shalat jenazah di atas makam almarhum.
Pemda Sumbar menyatakan berkabung yang dalam, bendera merah putih dikibarkan setengah tiang selama tiga hari berturut-turut oleh pemerintah dan rakyat Sumbar. Seorang ulama pejuang dan pejuang ulama sudah pergi selama-lamanya menghadap kehadirat Allah ‘Azza Wa Jalla. Kepribadian, amal dan perjuangannya patut menjadi teladan bagi generasi selanjutnya. Jasanya besar bagi nusa, bangsa dan agama.
Pesan almarhum terakhir terukir dengan jelas di tembok pusaranya : “Teruskan Membina
Tarbiyah Islamiyah Sesuai dengan Pelajaran yang kuberikan”.
Tanda Penghagaan
Tanda penghargaan yang pernah almarhum terima sebagai ulama pejuang antara lain adalah :
1) Bintang Perak Besar (1931) dari Kerajaan Belanda (Groote Zilveren Stervoor Trouw van Verdienste) atas jasa dan karyanya : a.Mengusahakan air bersih (pipa air) sepanjang hampir 2 Km untuk par santri MTI Candung dan masyarakat sekitarnya.
2) Bintang “sakura” dari Jepang atas keberhasilan almarhum mempersatukan organisasi Islam dalam wadah Majelis Islam Tinggi Minangkabau (MIMT) tahun 1943.
3) Sebagai perintis kemerdekaan RI (Depsos-1966), sebagai kenangan atas jasa-jasa beliau dalam membimbing masyarakat, baik dalam kehidupan beragama maupun dalam perjuangan kemerdekaan bangsa dan tanah air.
4) Gubernur Sumbar tahun 1975 menganugerahi piagam penghargaan sebagai “Pejuang Pendidik yang diterimakan kepada putra almarhum Buya Syahruddin Arrasuli.
JUSTIC

Situs ini adalah ruang publikasi berita dan informasi dan karya seni santri-santri Pondok Pesantren MTI Canduang, Agam, Sumatera Barat, Indonesia yang dikelola oleh Jurnalis Santri Tarbiyah Islamiyah Canduang sejak Selasa 07 Agustus 2007

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama